Jumat, 20 Maret 2009

TESIS; HAK KREDITUR

HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT (BERDASARKAN HAK TANGGUNGAN)
DALAM HAL DEBITOR WAN PRESTASI

A. Latar Belakang
1. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara hukum dalam melakukan pembangunan hukum, haruslah dengan sedemikian rupa, sehingga mampu menciptakan suatu sistem hukum pembangunan nasional, sebagaimana di bidang ekonomi sedang diwujudkan suatu sistem ekonomi pembangunan nasional, dan di bidang sistem administrasi negara sedang menuju suatu sistem administrasi negara pembangunan nasional.
Hukum merupakan suatu sistem yang berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri sari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.
Hal tersebut di atas, jika digambarkan dalam hukum nasional, maka keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut sebagai sistem hukum nasional, yang didalamnya terdapat sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum keluarga dan lain sebagainya. Semua sistem itu akan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena pada hakekatnya sistem hukum itu bersifat terbuka dan dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum itu sendiri seperti faktor kebudayaan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Sistem hukum itu berkembang sesuai dengan perkembangan hukum, pandangan tentang arti atau nilai bagian-bagian seperti peraturan, pengertian dan asas-asas hukum akan mempengaruhi perkembangan sistem. Meski demikian karena stuktur atau tatanan yang terjadi sebagai akibat hubungan khusus antara unsur-unsur di dalam dan di luar sistem memberi ciri khas sistem, maka sistem dapat bertahan sebagai satu kesatuan.
Telah dikatakan di atas, bahwa walau Indonesia menuju suatu sistem hukum nasional yang terus berkembang, tetapi perkembangan tersebut tidak boleh menimbulkan konflik dalam sistem hukum itu, sehingga setiap persoalan yang timbul harus dapat diselesaikan oleh dan dalam sistem itu sendiri.
Demikian pula dengan perkembangan yang terjadi dalam bidang hukum perdata sebagai bagian yang paling cepat perkembangannya. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum yang terjadi antara individu di bidang keperdataan tersebut sangat banyak dan mengakibatkan pengaruh yang amat besar dalam perekonomian baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yaitu sebagai salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, maka akan meningkat pula keperluan tersedianya dana, yang sulit dilakukan tanpa bantuan lembaga pinjaman.
Sesuai dengan kaedah ekonomi, ada demand dan ada pula supply, yang secara tradisional pihak yang berkelebihan dana mensuplay dana langsung kepada pihak yang membutuhkan dana. Hanya saja hal ini sering merugikan dan menekan pihak yang lemah, biasanya adalah pihak yang memerlukan dana.Oleh karena itu dibutuhkan suatu lembaga pinjaman yang lebih fleksibel dalam memenuhi dan menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat.
Salah satu lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dana kepada masyarakat adalah bank. Sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan UU Perbankan) bahwa salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan adalah perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Pasal 2 UU Perbankan menyatakan bahwa:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
Pasal 3 UU Perbankan, menyatakan bahwa:
“Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.”
Pasal 4 UU Perbankan, menyatakan pula bahwa:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”
Ketiga pasal dalam UU Perbankan itu dengan tegas menyebutkan bahwa Bank adalah lembaga intermediasi, yaitu lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana yang diterimanya dari masyarakat, yang dalam penyalurannya harus berdasarkan demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian sehingga tujuannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional menuju arah yang dicita-citakan dapat tercapai.
Bagi Indonesia sebagai negara berkembang, kegiatan perbankannya terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan dari kredit yang berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan dengan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit. Berbeda dengan bank-bank di negara maju, yang antara pendapatan bunga dibanding pendapatan jasa perbankan lainnya sudah cukup berimbang. Sehingga tak mengherankan kalau industri perbankan memberi perhatian lebih terhadap hal ini.
Mengingat sumber dana yang disalurkan oleh bank kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukan dana milik bank sendiri tetapi dana yang berasal dari masyarakat, maka penyaluran kredit tersebut harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semua itu bertujuan agar timbul keyakinan Bank bahwa Aplicant sanggup melunasi kreditnya pada waktu jatuh tempo yang disepakati
Dalam penjelasan Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 7 Tahun 1992 ,dikatakan bahwa kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Bank harus berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya walau kredit merupakan kegiatan jasa perbankan ynag utama, ini tak lain adalah sebagai satu upaya mencegah terjadinya kredit macet, apalagi undang-undang lebih mensyaratkan kepada keyakinan dari pihak bank sendiri terhadap kemampuan nasabah debiturnya dalam mengembalikan kredit tepat pada waktu yang diperjanjikan sedangkan jaminan berkedudukan sebagai antisipasi jika ternyata keyakinan yang telah diperolehnya itu tidak sesuai dengan kenyataan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, pihak bank terlebih dahulu melakukan penilaian secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur.
Agar penyaluran kredit bank dapat berjalan dengan aman, maka dalam praktik dikenal adanya jaminan/agunan (collateral) dari pihak debitur kepada bank. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar utang tersebut akan dibayar sesuai dengan perjanjian dan jika debitur ingkar janji maka benda yang dijadikan jaminan dapat dijual oleh bank untuk menggantikan hutang yang tidak dibayarkan tersebut.
Berdasarkan Rumusan Pasal 1 angka 1 UUHT dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminannya adalah hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Hal ini ternyata dalam Pasal 51 UUPA yang menyatakan bahwa:
“Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha

dan hak guna-bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan

Undang-undang.”

Memperhatikan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan antara UUHT dan UUPA mempunyai kaitan yang erat karena UUHT merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 51 UUPA tersebut. Karena UUHT merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UUPA, maka nanti tujuan untuk memberikan kepastian hukum juga harus tampak dalam UUHT dan selanjutnya juga akan menjadi pegangan untuk menafsirkan UUHT.
Telah dikatakan di atas bahwa hak tanggungan lahir karena adanya suatu perjanjian hutang piutang, hal ini dapat dilihat pada pasal-pasal selanjutnya dalam UUHT, seperti Pasal 10 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”

Perjanjian kredit pada bank sebagai perjanjian pokok utang piutang biasanya diikuti dengan perjanjian assesoir berupa perjanjian jaminan. Dalam perjanjian kredit bank, jaminan mempunyai peranan yang sangat penting. Jaminan yang sehat akan memberikan dampak yang baik terhadap pemenuhan kewajiban debitur jika suatu hari debitur wanprestasi.
Sebelum menerima suatu benda sebagai jaminan kredit, bank terlebih dahulu menilai kemampuan dari jaminan tersebut. Yaitu, kemampuan yuridis dan ekonomis dari jaminan untuk menanggulangi jumlah hutang debitur kepada bank. Maksudnya, selain jaminan mempunyai kepastian hukum juga mempunyai nilai jual yang mampu menanggulangi jumlah utang debitur kepada bank.
Jaminan sering menjadi masalah dalam suatu kredit perbankan. Dalam praktiknya, selain dari pembayaran kredit yang macet, jaminan pun sering ikut macet. Untuk menciptakan suatu penyaluran kredit yang sehat harus didukung oleh jaminan yang sehat (tidak bermasalah). Jaminan berguna dalam menanggulangi utang debitur seandainya di kemudian hari wanprestasi. Agar jaminan mempunyai kekuatan eksekutorial dan bersifat preference.
Jaminan harus diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit , rumusan ini secara jelas menyatakan bahwa eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan janji yang diberikan dalam Pasal 11 ayat (2) Huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) Jo Pasal 6 UUHT dan Irah – Irah Eksekutorial disebut dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT dapat dilaksanakan melalui pelelangan umum, kecuali dalam hal – hal tertentu yang menguntungkan dan disetujui oleh kedua belah pihak, dimungkinkan untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela, dengan segala konsekwensinya bagi pembeli ( Pasal 19 UUHT)
Obyek jaminan bisa berupa benda bergerak dan tidak bergerak. Untuk jaminan benda bergerak dikenal lembaga gadai (pand) dan fidusia. Sedangkan untuk jaminan benda tidak bergerak dijaminkan dengan lembaga hak tanggungan dan hipotik. Perubahan pemberian fasilitas kredit dan lembaga-lembaga kredit ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dari suatu negara sehingga mempengaruhi juga perubahan lembaga pemberian kredit dengan benda bergerak dan benda tidak bergerak sebagai jaminan.
Khusus untuk benda tidak bergerak yang berupa tanah dan bangunan yang ada di atasnya lembaga jaminannya adalah hak tanggungan. Obyek hak tanggungan hanya terbatas pada tanah yang berstatus hak milik, HGB, HGU, hak pakai atas tanah negara. Hak Pakai atas tanah hak milik dengan syarat – syarat tertentu juga dapat menjadi obyek hak tanggungan dengan penetapan oleh Peraturan Pemerintah. Tanah yang berada di luar cakupan obyek hak tanggungan tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan.
Untuk obyek jaminan berupa tanah diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT). Hak Tanggungan diberlakukan untuk jaminan yang obyeknya tanah. Untuk tanah yang belum bersertipikat dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan dengan cara memasukkan klausul proses pensertipikatannya.
Keterbatasan obyek Hak Tanggungan menyebabkan tanah yang bukan obyek Hak Tanggungan sulit untuk dijaminkan. Salah satunya adalah tanah yang belum bersertipikat. Tanah yang belum bersertipikat tidak dapat langsung dijaminkan dengan hak tanggungan karena masih merupakan alas hak, bukan bukti hak. Sedangkan banyak tanah yang berupa tanah yang belum bersertipikat mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Agar hak atas tanah yang belum bersertipikat dapat langsung dijadikan jaminan pada bank, maka diperlukan suatu lembaga jaminan tertentu.
Selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan jaminan tanah menggunakan lembaga hak tanggungan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah dan Credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia.
Apabila tanah yang dijadikan objek jaminan atas hutang debitur berupa tanah yang belum bersertipikat, maka jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan langsung dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT). Tetapi harus dilakukan dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yang masa berlaku dan fungsinya terbatas.
Mengingat program pemerintah dalam menggalakkan usaha kecil dan menengah dalam rangka mengentaskan kemiskinan untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kiranya perlu campur tangan pemerintah dalam memaksimalkan usaha tersebut, salah satunya memberikan kelonggaran dalam persyaratan perkreditan bagi mereka yang memenuhi kriteria yang ditentukan sehingga ketentuan Pasal 15 ayat (5) berlaku bagi mereka. Hal itu mengakibatkat ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku.
SKMHT dapat dibuat dengan alasan bahwa hak atas tanah yang akan diikat sebagai objek jaminan pelunasan belum terdaftar atau pun sudah terdaftar tetapi memerlukan waktu untuk peningkatan menjadi APHT, dan jika telah lewat tenggat waktu yang diberikan dengan sendirinya akan gugur. Tetapi tidak demikian dengan hutang piutang yang memenuhi ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
Persoalan akan timbul jika perjanjian hutang piutang yang dibuat dengan SKMHT sesuai dengan Pasal 1 Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 tersebut menjadi kredit macet, sehingga kreditor sebagai pemegang SKMHT harus mengeksekusi objek jaminan dimaksud. Karena kedudukan SKMHT hanyalah sebagai kuasa dari debitor kepada kreditor sebatas untuk membebankan hak tanggungan.
Dalam praktiknya, lembaga SKMHT ini banyak dimanfaatkan untuk kriteria yang dimaksud dalam Pasal 1 Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996, maka banyak objek jaminan belum mempunyai sertipikat dan jika dikaitkan dengan kedudukan SKMHT itu sendiri, akan membahayakan kreditor sebagai pemilik dana.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat umum bagi masyarakat yaitu dengan adanya kepastian hukum bagi perkembangan lembaga Hak Tanggungan seiring dengan meningkatnya perkreditan di Indonesia.
2. Latar Belakang Penelitian
Berdasarkan pengetahuan penulis tidak ditemukan Tesis, Skripsi dan Makalah Ilmiah lainnya yang meneliti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Kredit-Kredit Tertentu .
Hanya ada 2 (dua) Tesis tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang ditulis oleh :
1. Winda Saraswati, Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Sarana Pengikatan Jaminan Dalam Pelaksanaan Bisnis Perbankan, Tahun 2007
2. Niluh Elita Mahariany, Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Akibat Hukum Pembatasan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Tahun 2007.
Akan tetapi penelitian oleh Winda Saraswati lebih menitikberatkan pada pembahasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak menghubungkannya dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Kredit-Kredit Tertentu, kemudian penelitian yang dilakukan oleh Saudara Niluh Elita Mahariany lebih menekankan akibat pembatasan jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, bukan pada status tanah dan tidak dihubungkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Kredit-Kredit Tertentu .Dengan demikian keaslian tesis ini dapat dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hal tersebut, dengan tesis yang berjudul:
“HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT (BERDASARKAN HAK TANGGUNGAN) DALAM HAL DEBITOR WAN PRESTASI.”

B. Identifikasi Masalah
Untuk penelitian ini, Peneliti akan membatasi masalah dengan mengidentifikasikannya sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ?
2. Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ?
C. Tujuan Penelitian
Penulis ingin agar penelitian ini mencapai tujuannya yaitu:
1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis pelaksanaan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
2. Untuk mengetahui , memahami dan menganalisis upaya perlindungan hukum bagi kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
D. Kegunaan penelitian
Peneliti berharap, agar penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis:
Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum perbankan pada khususnya.
2. Secara Praktis:
a. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat untuk mendapat kepastian hukum.
b. Dapat memberikan informasi kepada kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat serta kewajiban yang harus mereka lakukan sehubungan dengan kuasa yang diterima tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang semua itu harus dicapai berdasarkan falsafah Pancasila.
Pemerintah dalam rangka mencapai tujuan tersebut melakukan berbagai upaya, baik prasarana maupun sarananya, termasuk membentuk peraturan yang merupakan dasar hukum guna terciptanya ketertiban, keadilan dan kepastian di dalam masyarakat.
Hukum penting sebagai pengatur dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini sesuai dengan pendapat Aristoteles, seorang filsuf Yunani menggambarkan manusia sebagai zoon politicon, yang berarti bahwa manusia adalah makhluk sosial sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri, tetapi akan selalu berkelompok untuk dapat saling bekerjasama antara sesama anggota masyarakat. Dalam melakukan hubungan antara sesama manusia ini, maka dengan sendirinya akan timbul suatu aturan yang mengatur hubungan antara mereka seperti yang dikatakan oleh teori Tulieus Cicero, yakni Ubi societas ibi Ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Teori ini juga didukung oleh Van Apeldorn, dengan teorinya bahwa:
“Hukum ada diseluruh dunia, di mana ada masyarakat dunia”.
Hukum akan memberikan pelbagai hak kepada manusia dan sekaligus juga hukum akan memberikan kewajiban kepada manusia, artinya hukum dapat memberikan hak kepada manusia yang satu dan dapat memberikan kewajiban kepada manusia lainnya, sehingga hukum dapat memaksakan seseorang yang dibebani kewajiban untuk memnuhi kewajibannya atas tuntutan orang yang berhak.
H.L.A. Hart The Concept of Law
“ Law is the general family of rules of behaviour “.
(Terjemahan tidak resminya “Hukum adalah kelompok umum dari peraturan-peraturan tingkah laku”).
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa Hukum adalah keseluruhan asas-asas dan norma-norma yang mengatur pergaulan hidup manusia meliputi juga lembaga-lembaga atau institusinya dan proses guna mewujudkannya. Lebih lanjut Mochtar menyatakan bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa hukum tidak hanya memelihara, melindungi dan mengamankan hasil-hasil pembangunan, tetapi lebih jauh hukum harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu kearah yang dicita-citakan.
Aminuddin Salle, menyatakan;
” Agar hukum itu dapat memenuhi fungsinya sebagai alat perubahan sosial, maka hukum tidak boleh tertinggal dari perkembangan masyarakatnya., Hukum harus berperan aktif dalam masyarakat, sehingga timbul perubahan kearah yang lebih baik, hukum tidak boleh statis, tetapi harus dinamis sehingga dari padanya tercipta suatu keadaan ideal yang dikehendaki.
Menurut . Budiman N.P.D. Sinaga, . Norma Hukum :
”Adalah suatu patokan yang didasarkan pada ukuran nilai baik atau buruk yang berorientasi kapada asas keadilan yang bersifat :
a. Suruhan (impare), yaitu apa yang harus dilakukan orang;
b. Larangan (prohibire), yaitu apa yang tidak boleh dilakukan orang”
Hal ini menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto merupakan isi kaedah hukum, yaitu Kaedah hukum yang berisikan suruhan, larangan dan kebolehan .
Selanjutnya menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, bila ditinjau dari sudut sifatnya kaedah hukum dibedakan :
”a. Kaedah hukum yang bersifat imperatif yaitu ; kaedah – kaedah hukum yang secara a’ priori harus ditaati, artinya, apabila seseorang hendak melakukan perbuatan X, maka tidak boleh tidak dia harus mentaati kaedah – kaedah hukum tertentu yang berhubungan dengan perbuatan X; kaedah hukum tersebut adalah imperatif untuk untuk perbuatan hukum X.dengan Demikian, maka kaedah hukum imperatif merupakan kaedah yang didalam suatu keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b. Kaedah hukum yang bersifat fakultatif yaitu :kaedah – kaedah hukum fakultatif tidaklah secara a’priori mengikat atau wajib dipatuhi. Artinya, kalau hendak melakukan perbuatan Y, maka boleh mentaati atau tidak mentaati kaedah – kaedah hukum tertentu yang berhubungan dengan perbuatan Y; kaedah hukum sedemikian adalah fakultatif bagi perbuatan Y. Arti tidak mentaati kaedah – kaedah hukum fakultatif
apabila menciptakan sendiri kaedah – kaedah untuk mengatur perbuatan Y; apabila tidak menciptakan kaedah – kaedah hukum sendiri, maka kaedah – kaedah hukum fakultatif tersebut akan berlaku bagi mereka.Dengan demikian maka kaedah hukum fakultatif adalah kaedah hukum yang didalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.”

Lawrence M. Friedman dengan teorinya Sistem hukum;
”Sistem Hukum memiliki tiga komponen utama ;Legal Structure merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksana hukum dan pembuatan undang – undang; Legal Substance sebagai suatu aspek dari sistem hukum, merupakan rrefleksi dari aturan – aturan yang berlaku, norma dan prilaku masyarakat dalam sistem tersebut; Legal Culture dimaksudkan dengan sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, kedalam komponen tersebut adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai, ide atau gagasannya dan harapan – harapannya”.

Hans Kelsen dengan teorinya The Hierarchical Stucture Of The Legal Order
“ The norm which regulates the creation of another norm is the higher, the norm created in comformity with the former is the lower one. The legal order is not a system of coordinated norms of equal level, but a hierarchy of different levels of legal norms. Its unity is brought about by the connection that result from the fact that the validity of a norm, created according to another norm, rests on that other norm, whose creation in turn, is determined by a third one. This is regression that ultimately ends up in the presupposed basic norm. This basic norm, therefore, is the highest reason for the validity of the norms, one created in comformity with another, thus forming a legal order in its hierarchical structure”. (terjemahan tidak resmi : “Suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar “).

Memperhatikan apa yang dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan interaksi antar sesama manusia diperlukan suatu peraturan yang mengatur hubungan itu lebih jauh, agar tidak terjadi konflik di antara manusia, peraturan itu tidak hanya meliputi norma-norma, ataupun kaedah-kaedah saja, tetapi termasuk proses dan lembaga untuk mewujudkan peraturan itu sendiri agar hukum dapat menjalankan fungsinya menjadi sarana untuk mencapai tujuan hukum yang pada akhirnya akan menuju kepada tujuan negara yang dicita – citakan.
Pemerintah selaku lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan peraturan perundang – undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pasal 4 ayat (2) dikatakan bahwa RPJM nasional merupakan penjabaran visi, misi dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Pembangunan ekonomi ini harus selaras dan serasi dengan pembangunan di bidang hukum, sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bab IX, dikatakan bahwa salah satu agenda dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional adalah menciptakan Indonesia yang Adil dan Demokrasi dengan pembenahan sistem hukum dan politik hukum.
Pembenahan sistem hukum ini harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat yang berkembang di segala aspek kehidupan baik itu bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik dan pertahanan dan keamanan untuk mencapai ketertiban dan kepastian sebagai sarana yang ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang meminta perhatian yang serius dalam pembinaan hukumnya adalah lembaga jaminan, hal ini sebagai konsekuensi logis dan merupakan pertanggungjawaban dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, industri dan perekonomian lainnya. Kegiatan-kegiatan demikian sering dilakukan oleh warga negara Indonesia pada umumnya, karena sudah menjadi kebutuhan rakyat, yang akhirnya memerlukan fasilitas kredit dalam usahanya, bagi pemberi modal mensyaratkan adanya jaminan, bagi pemberian kredit demi keamanan modal dan kepastian hukumnya.
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, adanya kebijaksanaan di bidang perkreditan mutlak diperlukan untuk mendorong pelaku usaha meningkatkan usahanya dalam rangka meningkatkan taraf perekonomian negara. Hal ini terutama diperlukan untuk sektor ekonomi lemah dan petani dalam rangka mengembangkan usahanya.
Pembangunan ekonomi termasuk didalamnya politik ekonomi dari suatu negara, memegang peranan penting dalam penentuan dan cara-cara pemberian kesempatan pemberian kredit oleh lembaga-lembaga kredit. Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi yang ada, menentukan jumlah pemberian fasilitas kredit dan kredit-kredit investasi dalam kehidupan perusahaan dan pertanian. Juga keadaan pertumbuhan ekonomi demikian menentukan kemungkinan pemberian kredit dengan benda-benda bergerak dan tak bergerak sebagai jaminan.
Perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban debitur oleh karenanya harus sejalan dengan ketentuan pasal-pasal mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain Pasal 1320 dan Pasal 1338.
Dalam konsideran UU Nomor 7 Tahun 1992 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dinyatakan bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 7 Tahun 1992, menyatakan bahwa:
“(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”

Pada umumnya, dunia perbankan menggunakan instrumen analisis yang terkenal dengan nama the fives of credit analisis atau 5C, yang terdiri dari:
“1. Character (watak).
2. Capital (modal).
3. Capacity (kemampuan).
4. Collateral (jaminan).
5. Condition of economy (kondisi ekonomi).”

Sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan guna mencapai tujuan hukum yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan UUHT hal ini untuk mewujudkan terciptanya suatu Lembaga Jaminan Hak atas Tanah yang kuat dan mampu memberikan jaminan perlindungan serta kapastian hukum bagi masyarakat, karena sebelum berlakunya UUHT telah ada lembaga jaminan hak atas tanah dan credit verband sebagaimana yang diatur dalam buku II BW, tentang hipotik dan credit verband yang tidak sesuai dengan ketentuan asas – asas hokum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi; hal ini dapat kita lihat dari penjelasan UUHT juga menyatakan bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT), menyatakan bahwa:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain, tanpa mengurangi preperensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam praktik sehari-hari, telah dikatakan bahwa adakalanya baik orang perorangan (natural person) maupun suatu badan hukum (legal entity) adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai kegiatannya, sehingga memerlukan pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut dengan cara pinjaman. Pinjaman itu antara lain dapat berupa kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank atau pinjaman dari seseorang.
Pada dasarnya, pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjamannya itu pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan baik dari debitor untuk mengembalikan utang. Tanpa adanya kepercayaan dari kreditor kepada debitor tersebut, maka nisacayalah kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut.
Untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman sampai, maka hukum memberlakukan beberapa asas yang menyangkut jaminan.
Asas-asas penting dalam hal jaminan ini adalah:
1. Asas yang termaktub dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
”Segala harta kekayaan debitur baik bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor.”
2. Asas yang menyangkut jaminan, termaktub dalam Pasal 1132 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
”Harta kekayaan debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditornya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan masing-masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor lainnya.”

Pasal 1132 menyatakan bahwa kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitor dalam pelunasan utang debitor kecuali kreditor tersebut memiliki alasan yang sah untuk didahulukan menurut ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 1133 KUHPerdata, dinyatakan bahwa:
”Hak untuk didahulukan diantara para kreditor timbul karena hak istimewa, gadai dan hipotik.”
Setelah diundangkannya UUHT dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka selain kreditor yang memiliki tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133 KUHPerdata tersebut di atas, juga kreditor-kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia, memiliki pula kedudukan yang harus didahulukan (kreditor preferen) terhadap kreditor-kreditor konkuren (selain kreditor preferen).
Kreditor pemegang hak tanggungan sebagai kreditor preferen, berhak mendapat pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya dari debitur dibandingkan dengan kreditor lain yang tidak memegang hak untuk didahulukan. Hal ini sebagai jaminan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam UUHT.
Proses pemberian hak tanggungan ini melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang piutang.
2. Tahap pendaftarannya oleh kantor pertanahan, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan.
Perjanjian utang piutang yang dibuat oleh debitor dan kreditor tersebut berlaku ketentuan – ketentuan perundang – undang yang berlaku baik yang bersifat imperatif maupun fakultatif, begitu juga untuk pebuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan , akan tetapi untuk Aktanya baik APHT maupun SKMHT harus dibuat dengan Akta otentik dengan akta notaris atau akta PPAT
Dalam pemberian hak tanggungan ini, maka debitor harus hadir dihadapan PPAT, yang jika tidak dapat hadir, debitor wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan secara otentik di hadapan Notaris atau PPAT yang berwenang. Pada saat pembuatan SKMHT dan APHT ini, harus sudah ada keyakinan kepada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang berhak atau yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan didaftarkan.
Hak tanggungan tidak serta merta lahir pada waktu pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan, tetapi lahir pada saat hak tanggungan tersebut didaftarkan dan dibukukan dalam Buku Tanah di Kantor Pertanahan.
Hal ini menurut Florianus SP Sangsun penting karena :
”Pendaftaran Tanah berguna untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah, memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan – ketentuan yang berlaku.”
Oleh karenanya kepastian mengenai saat didaftarkannya hak tanggungan , menjadi sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut tidak saja menentukan kedudukannya sebagai kreditor preperen tetapi juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga memegang hak tanggungan. Untuk itu, UUHT menentukan tanggal hari ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh Kantor Pertanahan sebagai hari pendaftaran untuk menjamin kepastian hukum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan :
” Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebaninya”.

Sebagai bagian dari proses pendaftaran, sertipikat sebagai alat pembuktian hak atas tanah terkuatpun diterbitkan ; Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Pasal 1 angka 20 menyatakan :
” Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.
Florianus SP Sangsun menyatakan :
"Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Menurut Adrian Sutedi :
” Pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak didalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak.”
Selanjutnya Adrian Sutedi menyatakan :
” Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama di dalam persidangan di Pengadilan ialah Akta Peraturan Pemerintah dan Sertipikat ”
Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji (wan prestasi), yaitu dengan lembaga parate executie (eksekusi langsung), yaitu menjual dengan kekuasaan sendiri secara langsung tanpa melalui keputusan hakim yang timbul karena diperjanjikan dalam pemberian hak tanggungan sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 6 UUHT, yaitu:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Jelaslah bahwa hak tanggungan itu baru mempunyai kekuatan yang mengikat dan menempatkan kreditornya sebagai kreditor yang didahulukan dari kreditor lainnya pada saat telah didaftarkan dan dibukukan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Dan apabila debitor cidera janji, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum.
Memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam membangun perekonomian dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, pemerintah merasa perlu ikut serta menentukan kebijakan dalam memecahkan masalah menyangkut kebutuhan dana terutama untuk usaha kecil dengan memberikan kelonggaran terhadap kredit-kredit tertentu, yaitu dengan hanya membuat SKMHT tanpa perlu meningkatkannya menjadi APHT, yang masa berlakunya adalah sama dengan masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Pasal 15 UUHT menyatakan bahwa:
“(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
(4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak ber-laku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”

Memperhatikan ketentuan Pasal di atas, dapat dilihat bahwa SKMHT adalah akta formil yang betuknya ditentukan dan hanya diperuntukkan khusus sebatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan semata-mata, yang mempunyai masa berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) bulan, yang jika tidak ditingkatkan menjadi APHT akan batal demi hukum.
Penjelasan Pasal 15 ayat (5) UUHT tersebut di atas menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit kepemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait.
Dalam hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu yang Pasal 1 nya menyatakan bahwa:
“Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut di bawah ini berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan:
1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;
b. Kredit Usaha Tani;
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya;
2. Kredit Kepemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan rumah, yaitu:
a. Kredit yang digunakan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi);
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (limapuluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai pembangunannya;
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana yang dimaksud huruf a dan b.
3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain:
a. Kredit Umum Pedesaan (BRI);
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah)”.

Pemberlakukan SKMHT selama berlakunya perjanjian pokok, memberi celah untuk tanah yang tidak mempunyai sertipikat, karena SKMHT tersebut tidak perlu diberikan hak tanggungan dan tidak perlu didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 13 UUHT) mengingat masa pemberlakuannya tersebut. Dengan belum bersertipikatnya tanah tersebut, berarti tanah dimaksud belum terdaftar di Kantor Pertanahan, sehingga kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut diragukan.
Memperhatikan pula apa yang dinyatakan Surat Sekretaris Menteri Negara Agraria Nomor 130-016/Sesmen/96 tanggal 29 Mei 1996, perihal penjelasan mengenai UUHT dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 dan 4, dikatakan bahwa:
”... Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan, bahkan dalam penjelasan pasal pasal tersebut disebutkan sebagai contoh dilarangnya dimuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek HT ataupun memperpanjang hak atas tanah yang bersangkutan.
Kekhawatiran di atas tidak perlu ada, karena kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa dalam SKMHT untuk memuat janji-janji tersebut dalam APHT bukanlah kuasa untuk melakukan perbuatan lain daripada membebankan HT yang dilarang oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT. Pemuatan janji-janji itu adalah bagian dari perbuatan membebankan HT khususnya dalam pembuatan APHT. Apabila dikehendaki oleh pemberi kuasa bahwa di dalam APHT akan dimuat janji-janji tertentu, maka penerima kuasa memerlukan kuasa untuk mencantumkan janji-janji yang disepakati itu di dalam APHT...”

Jelaslah bahwa kekuatan SKMHT hanyalah sebagai lembaga kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan pemberian hak tanggungan terhadap objek hak tanggungan dikarenakan pemberi kuasa sebagai orang yang berwenang tidak dapat hadir sendiri untuk melakukan hal tersebut, tidak untuk melakukan perbuatan hukum selain daripada itu.
Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Keadaan yang dipaparkan di atas menimbulkan suatu ketidakpastian hukum, jika debitor wan prestasi (cidera janji), pihak bank sebagai kreditor pemilik dana tidak mempunyai kekuasaan sebagai krditor preferen tetapi dipersamakan dengan kreditor lainnya, sehingga bank tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi), karena SKMHT tidak memberikan kekuasaan untuk itu.
Walaupun nilainya kecil, tetapi dengan jumlah nasabah yang banyak, potensi kredit macet juga akan menjadi cukup besar dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal bank sendiri juga harus memperlakukan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UU Perbankan.
Jika terjadi kredit macet, sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktifa Yang Diklasifikasikan, upaya-upaya penyelamatan kredit yang dapat dilakukan oleh bank adalah, penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring).
Dengan memperhatikan paparan di atas, menurut Peneliti sekalipun kelonggaran dalam hal jaminan dapat diberikan pada kredit tertentu untuk menunjang pembangunan, prinsip kehati-hatian bank tetap harus dipertahankan untuk dapat membentuk bank yang sehat, dan jika terjadi kredit macet pada sektor kredit ini, dikarenakan tidak berlakunya parate eksekusi dan dengan memperhatikan upaya yang dapat dilakukan oleh bank terhadap kredit macet ini, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat Pembaharuan utang (novasi) jika ternyata debitur melakukan wan prestasi terhadap perjanjian utang piutang yang telah dibuat

F. Metode Penelitian
Untuk melakukan penelitian terhadap masalah yang berhubungan dengan topik penelitian ini, digunakan metode sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian.
Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang hak kreditor pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam melaksanakan eksekusi terhadap objek yang dijaminkan yang belum bersertipikat, digunakan penelitian yang bersifat Deskriptif Analitis.
2. Metode Pendekatan.
Metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan pendekatan yang lebih dititik beratkan pada data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penulis juga menggunakan sumber data primer untuk data pendukung dalam menemukan permasahan yang akan diteliti berkaitan dengan hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat berdasarkan hak tanggungan dalam hal debitor wan prestasi.

3. Tahap Penelitian.
Penelitian terhadap tesis ini dilakukan 2 (dua) tahap, yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan (library research), guna memperoleh data sekunder, dalam hal ini dilakukan pengkajian terhadap:
1) Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, , Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktifa Yang Diklasifikasikan.
2) Bahan Hukum Sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan ahli hukum yang berkaitan dengan hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat berdasarkan hak tanggungan dalam hal debitor wan prestasi..
3) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang berupa kamus, majalah, jurnal dan surat kabar.
b. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer sebagai pendukung analisis hasil penelitian. Penelitian lapangan dilakukan pada lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan, notaris, Ikatan Notaris Indonesia, Kantor Badan Pertanahan Nasional, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Tekhnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder guna mendapat landasan teoritis dan memperoleh informasi dalam bentuk formal dan data melalui naskah resmi yang ada.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dengan responden yang terdiri dari teorotisi dan praktisi yaitu beberapa ahli hukum dan pejabat-pejabat di Kantor Badan Pertanahan Nasional, Bank dan beberapa Notaris yang berada di kota Bandung.
5. Metode Analisa Data
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang berupa data primer dan data sekunder dilakukan dengan metode analisis kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi para responden. Dengan demikian merupakan analisis data tanpa menggunakan rumus-rumus matematik
6. Lokasi Penelitian.
Untuk memperoleh data penelitian dilakukan di Bandung. Data sekunder diperoleh di Perpustakaan Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan UNPAD, Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat UNPAD Bandung, Perpustakaan Universitas Islam Bandung, Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Pasundan. Untuk Penelitian Lapangan dilakukan di Kantor PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, Kantor Notaris, Kantor Badan Pertanahan Nasional yang berada di Bandung dan Malang.

G. Sistematika Penulisan.
Untuk Penulisan tesis ini, Peneliti akan memberikan secara garis besar tentang apa yang penulis teliti pada tiap-tiap bab dari tesis ini dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Berisikan Pendahuluan. Pada bab ini, akan diuraikan tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Berupa uraian tentang tinjauan pustaka, pada pokoknya mengenai Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT); Pengertian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Dasar Hukum dan Azas-azas, Sifat dan Isi Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Batas Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Kedudukan Pihak-Pihak berdasarkan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Eksekusi Jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Pendaftaran tanah, Sertipikat tanah.
Bab III : Membahas mengenai kenyataan hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat berdasarkan hak tanggungan dalam hal debitor wan prestasi, yang didalam sub babnya akan membahas tentang sistem perkreditan yang memungkinkan dilakukan hanya dengan SKMHT, proses pemberian kuasa, proses dan latar belakang pemberian kuasa hak tanggungan, objek jaminan, akibat dan konsekkuensi bagi kreditor sebagai pemegang SKMHT.
Bab IV : Merupakan analisis Yuridis Normatif mengenai hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat dalam hal debitor wan prestasi , yang disesuaikan dengan kedudukan dan upaya perlindungan terhadap Kreditor.
Bab V : Pada Bab ini, berisikan Simpulan dan saran dari Peneliti. Kesimpulan ini merupakan kristalisasi hasil penelitian, sedangkan saran-saran merupakan sumbangan pemikiran penulis yang berkaitan dengan hasil penelitian dimaksud.


























HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT (BERDASARKAN HAK TANGGUNGAN)
DALAM HAL DEBITOR WAN PRESTASI

A. Latar Belakang
1. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara hukum dalam melakukan pembangunan hukum, haruslah dengan sedemikian rupa, sehingga mampu menciptakan suatu sistem hukum pembangunan nasional, sebagaimana di bidang ekonomi sedang diwujudkan suatu sistem ekonomi pembangunan nasional, dan di bidang sistem administrasi negara sedang menuju suatu sistem administrasi negara pembangunan nasional.
Hukum merupakan suatu sistem yang berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri sari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.
Hal tersebut di atas, jika digambarkan dalam hukum nasional, maka keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut sebagai sistem hukum nasional, yang didalamnya terdapat sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum keluarga dan lain sebagainya. Semua sistem itu akan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena pada hakekatnya sistem hukum itu bersifat terbuka dan dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum itu sendiri seperti faktor kebudayaan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Sistem hukum itu berkembang sesuai dengan perkembangan hukum, pandangan tentang arti atau nilai bagian-bagian seperti peraturan, pengertian dan asas-asas hukum akan mempengaruhi perkembangan sistem. Meski demikian karena stuktur atau tatanan yang terjadi sebagai akibat hubungan khusus antara unsur-unsur di dalam dan di luar sistem memberi ciri khas sistem, maka sistem dapat bertahan sebagai satu kesatuan.
Telah dikatakan di atas, bahwa walau Indonesia menuju suatu sistem hukum nasional yang terus berkembang, tetapi perkembangan tersebut tidak boleh menimbulkan konflik dalam sistem hukum itu, sehingga setiap persoalan yang timbul harus dapat diselesaikan oleh dan dalam sistem itu sendiri.
Demikian pula dengan perkembangan yang terjadi dalam bidang hukum perdata sebagai bagian yang paling cepat perkembangannya. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum yang terjadi antara individu di bidang keperdataan tersebut sangat banyak dan mengakibatkan pengaruh yang amat besar dalam perekonomian baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yaitu sebagai salah satu upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, maka akan meningkat pula keperluan tersedianya dana, yang sulit dilakukan tanpa bantuan lembaga pinjaman.
Sesuai dengan kaedah ekonomi, ada demand dan ada pula supply, yang secara tradisional pihak yang berkelebihan dana mensuplay dana langsung kepada pihak yang membutuhkan dana. Hanya saja hal ini sering merugikan dan menekan pihak yang lemah, biasanya adalah pihak yang memerlukan dana.Oleh karena itu dibutuhkan suatu lembaga pinjaman yang lebih fleksibel dalam memenuhi dan menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat.
Salah satu lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dana kepada masyarakat adalah bank. Sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan UU Perbankan) bahwa salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan adalah perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Pasal 2 UU Perbankan menyatakan bahwa:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.
Pasal 3 UU Perbankan, menyatakan bahwa:
“Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.”
Pasal 4 UU Perbankan, menyatakan pula bahwa:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”
Ketiga pasal dalam UU Perbankan itu dengan tegas menyebutkan bahwa Bank adalah lembaga intermediasi, yaitu lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana yang diterimanya dari masyarakat, yang dalam penyalurannya harus berdasarkan demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian sehingga tujuannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional menuju arah yang dicita-citakan dapat tercapai.
Bagi Indonesia sebagai negara berkembang, kegiatan perbankannya terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan dari kredit yang berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan dengan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit. Berbeda dengan bank-bank di negara maju, yang antara pendapatan bunga dibanding pendapatan jasa perbankan lainnya sudah cukup berimbang. Sehingga tak mengherankan kalau industri perbankan memberi perhatian lebih terhadap hal ini.
Mengingat sumber dana yang disalurkan oleh bank kepada masyarakat dalam bentuk kredit bukan dana milik bank sendiri tetapi dana yang berasal dari masyarakat, maka penyaluran kredit tersebut harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semua itu bertujuan agar timbul keyakinan Bank bahwa Aplicant sanggup melunasi kreditnya pada waktu jatuh tempo yang disepakati
Dalam penjelasan Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 7 Tahun 1992 ,dikatakan bahwa kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Bank harus berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya walau kredit merupakan kegiatan jasa perbankan ynag utama, ini tak lain adalah sebagai satu upaya mencegah terjadinya kredit macet, apalagi undang-undang lebih mensyaratkan kepada keyakinan dari pihak bank sendiri terhadap kemampuan nasabah debiturnya dalam mengembalikan kredit tepat pada waktu yang diperjanjikan sedangkan jaminan berkedudukan sebagai antisipasi jika ternyata keyakinan yang telah diperolehnya itu tidak sesuai dengan kenyataan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, pihak bank terlebih dahulu melakukan penilaian secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur.
Agar penyaluran kredit bank dapat berjalan dengan aman, maka dalam praktik dikenal adanya jaminan/agunan (collateral) dari pihak debitur kepada bank. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar utang tersebut akan dibayar sesuai dengan perjanjian dan jika debitur ingkar janji maka benda yang dijadikan jaminan dapat dijual oleh bank untuk menggantikan hutang yang tidak dibayarkan tersebut.
Berdasarkan Rumusan Pasal 1 angka 1 UUHT dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminannya adalah hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Hal ini ternyata dalam Pasal 51 UUPA yang menyatakan bahwa:
“Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha

dan hak guna-bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan

Undang-undang.”

Memperhatikan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan antara UUHT dan UUPA mempunyai kaitan yang erat karena UUHT merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 51 UUPA tersebut. Karena UUHT merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UUPA, maka nanti tujuan untuk memberikan kepastian hukum juga harus tampak dalam UUHT dan selanjutnya juga akan menjadi pegangan untuk menafsirkan UUHT.
Telah dikatakan di atas bahwa hak tanggungan lahir karena adanya suatu perjanjian hutang piutang, hal ini dapat dilihat pada pasal-pasal selanjutnya dalam UUHT, seperti Pasal 10 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”

Perjanjian kredit pada bank sebagai perjanjian pokok utang piutang biasanya diikuti dengan perjanjian assesoir berupa perjanjian jaminan. Dalam perjanjian kredit bank, jaminan mempunyai peranan yang sangat penting. Jaminan yang sehat akan memberikan dampak yang baik terhadap pemenuhan kewajiban debitur jika suatu hari debitur wanprestasi.
Sebelum menerima suatu benda sebagai jaminan kredit, bank terlebih dahulu menilai kemampuan dari jaminan tersebut. Yaitu, kemampuan yuridis dan ekonomis dari jaminan untuk menanggulangi jumlah hutang debitur kepada bank. Maksudnya, selain jaminan mempunyai kepastian hukum juga mempunyai nilai jual yang mampu menanggulangi jumlah utang debitur kepada bank.
Jaminan sering menjadi masalah dalam suatu kredit perbankan. Dalam praktiknya, selain dari pembayaran kredit yang macet, jaminan pun sering ikut macet. Untuk menciptakan suatu penyaluran kredit yang sehat harus didukung oleh jaminan yang sehat (tidak bermasalah). Jaminan berguna dalam menanggulangi utang debitur seandainya di kemudian hari wanprestasi. Agar jaminan mempunyai kekuatan eksekutorial dan bersifat preference.
Jaminan harus diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit , rumusan ini secara jelas menyatakan bahwa eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan janji yang diberikan dalam Pasal 11 ayat (2) Huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) Jo Pasal 6 UUHT dan Irah – Irah Eksekutorial disebut dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT dapat dilaksanakan melalui pelelangan umum, kecuali dalam hal – hal tertentu yang menguntungkan dan disetujui oleh kedua belah pihak, dimungkinkan untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan sukarela, dengan segala konsekwensinya bagi pembeli ( Pasal 19 UUHT)
Obyek jaminan bisa berupa benda bergerak dan tidak bergerak. Untuk jaminan benda bergerak dikenal lembaga gadai (pand) dan fidusia. Sedangkan untuk jaminan benda tidak bergerak dijaminkan dengan lembaga hak tanggungan dan hipotik. Perubahan pemberian fasilitas kredit dan lembaga-lembaga kredit ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dari suatu negara sehingga mempengaruhi juga perubahan lembaga pemberian kredit dengan benda bergerak dan benda tidak bergerak sebagai jaminan.
Khusus untuk benda tidak bergerak yang berupa tanah dan bangunan yang ada di atasnya lembaga jaminannya adalah hak tanggungan. Obyek hak tanggungan hanya terbatas pada tanah yang berstatus hak milik, HGB, HGU, hak pakai atas tanah negara. Hak Pakai atas tanah hak milik dengan syarat – syarat tertentu juga dapat menjadi obyek hak tanggungan dengan penetapan oleh Peraturan Pemerintah. Tanah yang berada di luar cakupan obyek hak tanggungan tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan.
Untuk obyek jaminan berupa tanah diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT). Hak Tanggungan diberlakukan untuk jaminan yang obyeknya tanah. Untuk tanah yang belum bersertipikat dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan dengan cara memasukkan klausul proses pensertipikatannya.
Keterbatasan obyek Hak Tanggungan menyebabkan tanah yang bukan obyek Hak Tanggungan sulit untuk dijaminkan. Salah satunya adalah tanah yang belum bersertipikat. Tanah yang belum bersertipikat tidak dapat langsung dijaminkan dengan hak tanggungan karena masih merupakan alas hak, bukan bukti hak. Sedangkan banyak tanah yang berupa tanah yang belum bersertipikat mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Agar hak atas tanah yang belum bersertipikat dapat langsung dijadikan jaminan pada bank, maka diperlukan suatu lembaga jaminan tertentu.
Selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan jaminan tanah menggunakan lembaga hak tanggungan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah dan Credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia.
Apabila tanah yang dijadikan objek jaminan atas hutang debitur berupa tanah yang belum bersertipikat, maka jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan langsung dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT). Tetapi harus dilakukan dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yang masa berlaku dan fungsinya terbatas.
Mengingat program pemerintah dalam menggalakkan usaha kecil dan menengah dalam rangka mengentaskan kemiskinan untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kiranya perlu campur tangan pemerintah dalam memaksimalkan usaha tersebut, salah satunya memberikan kelonggaran dalam persyaratan perkreditan bagi mereka yang memenuhi kriteria yang ditentukan sehingga ketentuan Pasal 15 ayat (5) berlaku bagi mereka. Hal itu mengakibatkat ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku.
SKMHT dapat dibuat dengan alasan bahwa hak atas tanah yang akan diikat sebagai objek jaminan pelunasan belum terdaftar atau pun sudah terdaftar tetapi memerlukan waktu untuk peningkatan menjadi APHT, dan jika telah lewat tenggat waktu yang diberikan dengan sendirinya akan gugur. Tetapi tidak demikian dengan hutang piutang yang memenuhi ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
Persoalan akan timbul jika perjanjian hutang piutang yang dibuat dengan SKMHT sesuai dengan Pasal 1 Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 tersebut menjadi kredit macet, sehingga kreditor sebagai pemegang SKMHT harus mengeksekusi objek jaminan dimaksud. Karena kedudukan SKMHT hanyalah sebagai kuasa dari debitor kepada kreditor sebatas untuk membebankan hak tanggungan.
Dalam praktiknya, lembaga SKMHT ini banyak dimanfaatkan untuk kriteria yang dimaksud dalam Pasal 1 Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996, maka banyak objek jaminan belum mempunyai sertipikat dan jika dikaitkan dengan kedudukan SKMHT itu sendiri, akan membahayakan kreditor sebagai pemilik dana.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat umum bagi masyarakat yaitu dengan adanya kepastian hukum bagi perkembangan lembaga Hak Tanggungan seiring dengan meningkatnya perkreditan di Indonesia.
2. Latar Belakang Penelitian
Berdasarkan pengetahuan penulis tidak ditemukan Tesis, Skripsi dan Makalah Ilmiah lainnya yang meneliti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Kredit-Kredit Tertentu .
Hanya ada 2 (dua) Tesis tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang ditulis oleh :
3. Winda Saraswati, Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Sarana Pengikatan Jaminan Dalam Pelaksanaan Bisnis Perbankan, Tahun 2007
4. Niluh Elita Mahariany, Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Airlangga, Akibat Hukum Pembatasan Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Tahun 2007.
Akan tetapi penelitian oleh Winda Saraswati lebih menitikberatkan pada pembahasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak menghubungkannya dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Kredit-Kredit Tertentu, kemudian penelitian yang dilakukan oleh Saudara Niluh Elita Mahariany lebih menekankan akibat pembatasan jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, bukan pada status tanah dan tidak dihubungkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996 tentang Kredit-Kredit Tertentu .Dengan demikian keaslian tesis ini dapat dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang hal tersebut, dengan tesis yang berjudul:
“HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT (BERDASARKAN HAK TANGGUNGAN) DALAM HAL DEBITOR WAN PRESTASI.”

B. Identifikasi Masalah
Untuk penelitian ini, Peneliti akan membatasi masalah dengan mengidentifikasikannya sebagai berikut:
3. Bagaimana kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ?
4. Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ?
C. Tujuan Penelitian
Penulis ingin agar penelitian ini mencapai tujuannya yaitu:
3. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis pelaksanaan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
4. Untuk mengetahui , memahami dan menganalisis upaya perlindungan hukum bagi kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
D. Kegunaan penelitian
Peneliti berharap, agar penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis:
Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum perbankan pada khususnya.
2. Secara Praktis:
c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat untuk mendapat kepastian hukum.
d. Dapat memberikan informasi kepada kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dijaminkan dengan tanah yang belum bersertipikat serta kewajiban yang harus mereka lakukan sehubungan dengan kuasa yang diterima tersebut.
E. Kerangka Pemikiran
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang semua itu harus dicapai berdasarkan falsafah Pancasila.
Pemerintah dalam rangka mencapai tujuan tersebut melakukan berbagai upaya, baik prasarana maupun sarananya, termasuk membentuk peraturan yang merupakan dasar hukum guna terciptanya ketertiban, keadilan dan kepastian di dalam masyarakat.
Hukum penting sebagai pengatur dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini sesuai dengan pendapat Aristoteles, seorang filsuf Yunani menggambarkan manusia sebagai zoon politicon, yang berarti bahwa manusia adalah makhluk sosial sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri, tetapi akan selalu berkelompok untuk dapat saling bekerjasama antara sesama anggota masyarakat. Dalam melakukan hubungan antara sesama manusia ini, maka dengan sendirinya akan timbul suatu aturan yang mengatur hubungan antara mereka seperti yang dikatakan oleh teori Tulieus Cicero, yakni Ubi societas ibi Ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Teori ini juga didukung oleh Van Apeldorn, dengan teorinya bahwa:
“Hukum ada diseluruh dunia, di mana ada masyarakat dunia”.
Hukum akan memberikan pelbagai hak kepada manusia dan sekaligus juga hukum akan memberikan kewajiban kepada manusia, artinya hukum dapat memberikan hak kepada manusia yang satu dan dapat memberikan kewajiban kepada manusia lainnya, sehingga hukum dapat memaksakan seseorang yang dibebani kewajiban untuk memnuhi kewajibannya atas tuntutan orang yang berhak.
H.L.A. Hart The Concept of Law
“ Law is the general family of rules of behaviour “.
(Terjemahan tidak resminya “Hukum adalah kelompok umum dari peraturan-peraturan tingkah laku”).
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa Hukum adalah keseluruhan asas-asas dan norma-norma yang mengatur pergaulan hidup manusia meliputi juga lembaga-lembaga atau institusinya dan proses guna mewujudkannya. Lebih lanjut Mochtar menyatakan bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa hukum tidak hanya memelihara, melindungi dan mengamankan hasil-hasil pembangunan, tetapi lebih jauh hukum harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu kearah yang dicita-citakan.
Aminuddin Salle, menyatakan;
” Agar hukum itu dapat memenuhi fungsinya sebagai alat perubahan sosial, maka hukum tidak boleh tertinggal dari perkembangan masyarakatnya., Hukum harus berperan aktif dalam masyarakat, sehingga timbul perubahan kearah yang lebih baik, hukum tidak boleh statis, tetapi harus dinamis sehingga dari padanya tercipta suatu keadaan ideal yang dikehendaki.
Menurut . Budiman N.P.D. Sinaga, . Norma Hukum :
”Adalah suatu patokan yang didasarkan pada ukuran nilai baik atau buruk yang berorientasi kapada asas keadilan yang bersifat :
c. Suruhan (impare), yaitu apa yang harus dilakukan orang;
d. Larangan (prohibire), yaitu apa yang tidak boleh dilakukan orang”
Hal ini menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto merupakan isi kaedah hukum, yaitu Kaedah hukum yang berisikan suruhan, larangan dan kebolehan .
Selanjutnya menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, bila ditinjau dari sudut sifatnya kaedah hukum dibedakan :
”a. Kaedah hukum yang bersifat imperatif yaitu ; kaedah – kaedah hukum yang secara a’ priori harus ditaati, artinya, apabila seseorang hendak melakukan perbuatan X, maka tidak boleh tidak dia harus mentaati kaedah – kaedah hukum tertentu yang berhubungan dengan perbuatan X; kaedah hukum tersebut adalah imperatif untuk untuk perbuatan hukum X.dengan Demikian, maka kaedah hukum imperatif merupakan kaedah yang didalam suatu keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b. Kaedah hukum yang bersifat fakultatif yaitu :kaedah – kaedah hukum fakultatif tidaklah secara a’priori mengikat atau wajib dipatuhi. Artinya, kalau hendak melakukan perbuatan Y, maka boleh mentaati atau tidak mentaati kaedah – kaedah hukum tertentu yang berhubungan dengan perbuatan Y; kaedah hukum sedemikian adalah fakultatif bagi perbuatan Y. Arti tidak mentaati kaedah – kaedah hukum fakultatif
apabila menciptakan sendiri kaedah – kaedah untuk mengatur perbuatan Y; apabila tidak menciptakan kaedah – kaedah hukum sendiri, maka kaedah – kaedah hukum fakultatif tersebut akan berlaku bagi mereka.Dengan demikian maka kaedah hukum fakultatif adalah kaedah hukum yang didalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.”

Lawrence M. Friedman dengan teorinya Sistem hukum;
”Sistem Hukum memiliki tiga komponen utama ;Legal Structure merupakan representasi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksana hukum dan pembuatan undang – undang; Legal Substance sebagai suatu aspek dari sistem hukum, merupakan rrefleksi dari aturan – aturan yang berlaku, norma dan prilaku masyarakat dalam sistem tersebut; Legal Culture dimaksudkan dengan sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, kedalam komponen tersebut adalah kepercayaan terhadap hukum, nilai, ide atau gagasannya dan harapan – harapannya”.

Hans Kelsen dengan teorinya The Hierarchical Stucture Of The Legal Order
“ The norm which regulates the creation of another norm is the higher, the norm created in comformity with the former is the lower one. The legal order is not a system of coordinated norms of equal level, but a hierarchy of different levels of legal norms. Its unity is brought about by the connection that result from the fact that the validity of a norm, created according to another norm, rests on that other norm, whose creation in turn, is determined by a third one. This is regression that ultimately ends up in the presupposed basic norm. This basic norm, therefore, is the highest reason for the validity of the norms, one created in comformity with another, thus forming a legal order in its hierarchical structure”. (terjemahan tidak resmi : “Suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar “).

Memperhatikan apa yang dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan interaksi antar sesama manusia diperlukan suatu peraturan yang mengatur hubungan itu lebih jauh, agar tidak terjadi konflik di antara manusia, peraturan itu tidak hanya meliputi norma-norma, ataupun kaedah-kaedah saja, tetapi termasuk proses dan lembaga untuk mewujudkan peraturan itu sendiri agar hukum dapat menjalankan fungsinya menjadi sarana untuk mencapai tujuan hukum yang pada akhirnya akan menuju kepada tujuan negara yang dicita – citakan.
Pemerintah selaku lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan peraturan perundang – undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pasal 4 ayat (2) dikatakan bahwa RPJM nasional merupakan penjabaran visi, misi dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Pembangunan ekonomi ini harus selaras dan serasi dengan pembangunan di bidang hukum, sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Bab IX, dikatakan bahwa salah satu agenda dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional adalah menciptakan Indonesia yang Adil dan Demokrasi dengan pembenahan sistem hukum dan politik hukum.
Pembenahan sistem hukum ini harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat yang berkembang di segala aspek kehidupan baik itu bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum, politik dan pertahanan dan keamanan untuk mencapai ketertiban dan kepastian sebagai sarana yang ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang meminta perhatian yang serius dalam pembinaan hukumnya adalah lembaga jaminan, hal ini sebagai konsekuensi logis dan merupakan pertanggungjawaban dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, industri dan perekonomian lainnya. Kegiatan-kegiatan demikian sering dilakukan oleh warga negara Indonesia pada umumnya, karena sudah menjadi kebutuhan rakyat, yang akhirnya memerlukan fasilitas kredit dalam usahanya, bagi pemberi modal mensyaratkan adanya jaminan, bagi pemberian kredit demi keamanan modal dan kepastian hukumnya.
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, adanya kebijaksanaan di bidang perkreditan mutlak diperlukan untuk mendorong pelaku usaha meningkatkan usahanya dalam rangka meningkatkan taraf perekonomian negara. Hal ini terutama diperlukan untuk sektor ekonomi lemah dan petani dalam rangka mengembangkan usahanya.
Pembangunan ekonomi termasuk didalamnya politik ekonomi dari suatu negara, memegang peranan penting dalam penentuan dan cara-cara pemberian kesempatan pemberian kredit oleh lembaga-lembaga kredit. Sesuai dengan pertumbuhan ekonomi yang ada, menentukan jumlah pemberian fasilitas kredit dan kredit-kredit investasi dalam kehidupan perusahaan dan pertanian. Juga keadaan pertumbuhan ekonomi demikian menentukan kemungkinan pemberian kredit dengan benda-benda bergerak dan tak bergerak sebagai jaminan.
Perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban debitur oleh karenanya harus sejalan dengan ketentuan pasal-pasal mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain Pasal 1320 dan Pasal 1338.
Dalam konsideran UU Nomor 7 Tahun 1992 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, dinyatakan bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 7 Tahun 1992, menyatakan bahwa:
“(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”

Pada umumnya, dunia perbankan menggunakan instrumen analisis yang terkenal dengan nama the fives of credit analisis atau 5C, yang terdiri dari:
“1. Character (watak).
2. Capital (modal).
3. Capacity (kemampuan).
4. Collateral (jaminan).
5. Condition of economy (kondisi ekonomi).”

Sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan guna mencapai tujuan hukum yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan UUHT hal ini untuk mewujudkan terciptanya suatu Lembaga Jaminan Hak atas Tanah yang kuat dan mampu memberikan jaminan perlindungan serta kapastian hukum bagi masyarakat, karena sebelum berlakunya UUHT telah ada lembaga jaminan hak atas tanah dan credit verband sebagaimana yang diatur dalam buku II BW, tentang hipotik dan credit verband yang tidak sesuai dengan ketentuan asas – asas hokum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi; hal ini dapat kita lihat dari penjelasan UUHT juga menyatakan bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT), menyatakan bahwa:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, jika debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain, tanpa mengurangi preperensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam praktik sehari-hari, telah dikatakan bahwa adakalanya baik orang perorangan (natural person) maupun suatu badan hukum (legal entity) adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai kegiatannya, sehingga memerlukan pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya tersebut dengan cara pinjaman. Pinjaman itu antara lain dapat berupa kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank atau pinjaman dari seseorang.
Pada dasarnya, pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjamannya itu pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan baik dari debitor untuk mengembalikan utang. Tanpa adanya kepercayaan dari kreditor kepada debitor tersebut, maka nisacayalah kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut.
Untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman sampai, maka hukum memberlakukan beberapa asas yang menyangkut jaminan.
Asas-asas penting dalam hal jaminan ini adalah:
3. Asas yang termaktub dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
”Segala harta kekayaan debitur baik bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor.”
4. Asas yang menyangkut jaminan, termaktub dalam Pasal 1132 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
”Harta kekayaan debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditornya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan masing-masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor lainnya.”

Pasal 1132 menyatakan bahwa kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitor dalam pelunasan utang debitor kecuali kreditor tersebut memiliki alasan yang sah untuk didahulukan menurut ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 1133 KUHPerdata, dinyatakan bahwa:
”Hak untuk didahulukan diantara para kreditor timbul karena hak istimewa, gadai dan hipotik.”
Setelah diundangkannya UUHT dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka selain kreditor yang memiliki tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133 KUHPerdata tersebut di atas, juga kreditor-kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia, memiliki pula kedudukan yang harus didahulukan (kreditor preferen) terhadap kreditor-kreditor konkuren (selain kreditor preferen).
Kreditor pemegang hak tanggungan sebagai kreditor preferen, berhak mendapat pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya dari debitur dibandingkan dengan kreditor lain yang tidak memegang hak untuk didahulukan. Hal ini sebagai jaminan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam UUHT.
Proses pemberian hak tanggungan ini melalui dua tahap, yaitu:
3. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang piutang.
4. Tahap pendaftarannya oleh kantor pertanahan, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan.
Perjanjian utang piutang yang dibuat oleh debitor dan kreditor tersebut berlaku ketentuan – ketentuan perundang – undang yang berlaku baik yang bersifat imperatif maupun fakultatif, begitu juga untuk pebuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan , akan tetapi untuk Aktanya baik APHT maupun SKMHT harus dibuat dengan Akta otentik dengan akta notaris atau akta PPAT
Dalam pemberian hak tanggungan ini, maka debitor harus hadir dihadapan PPAT, yang jika tidak dapat hadir, debitor wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan secara otentik di hadapan Notaris atau PPAT yang berwenang. Pada saat pembuatan SKMHT dan APHT ini, harus sudah ada keyakinan kepada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang berhak atau yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan didaftarkan.
Hak tanggungan tidak serta merta lahir pada waktu pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan, tetapi lahir pada saat hak tanggungan tersebut didaftarkan dan dibukukan dalam Buku Tanah di Kantor Pertanahan.
Hal ini menurut Florianus SP Sangsun penting karena :
”Pendaftaran Tanah berguna untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah, memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan – ketentuan yang berlaku.”
Oleh karenanya kepastian mengenai saat didaftarkannya hak tanggungan , menjadi sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut tidak saja menentukan kedudukannya sebagai kreditor preperen tetapi juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga memegang hak tanggungan. Untuk itu, UUHT menentukan tanggal hari ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh Kantor Pertanahan sebagai hari pendaftaran untuk menjamin kepastian hukum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan :
” Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebaninya”.

Sebagai bagian dari proses pendaftaran, sertipikat sebagai alat pembuktian hak atas tanah terkuatpun diterbitkan ; Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Pasal 1 angka 20 menyatakan :
” Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.
Florianus SP Sangsun menyatakan :
"Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Menurut Adrian Sutedi :
” Pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak didalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak.”
Selanjutnya Adrian Sutedi menyatakan :
” Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama di dalam persidangan di Pengadilan ialah Akta Peraturan Pemerintah dan Sertipikat ”
Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji (wan prestasi), yaitu dengan lembaga parate executie (eksekusi langsung), yaitu menjual dengan kekuasaan sendiri secara langsung tanpa melalui keputusan hakim yang timbul karena diperjanjikan dalam pemberian hak tanggungan sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 6 UUHT, yaitu:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Jelaslah bahwa hak tanggungan itu baru mempunyai kekuatan yang mengikat dan menempatkan kreditornya sebagai kreditor yang didahulukan dari kreditor lainnya pada saat telah didaftarkan dan dibukukan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Dan apabila debitor cidera janji, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum.
Memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam membangun perekonomian dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, pemerintah merasa perlu ikut serta menentukan kebijakan dalam memecahkan masalah menyangkut kebutuhan dana terutama untuk usaha kecil dengan memberikan kelonggaran terhadap kredit-kredit tertentu, yaitu dengan hanya membuat SKMHT tanpa perlu meningkatkannya menjadi APHT, yang masa berlakunya adalah sama dengan masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Pasal 15 UUHT menyatakan bahwa:
“(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
d. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
e. tidak memuat kuasa substitusi;
f. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
(4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak ber-laku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”

Memperhatikan ketentuan Pasal di atas, dapat dilihat bahwa SKMHT adalah akta formil yang betuknya ditentukan dan hanya diperuntukkan khusus sebatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan semata-mata, yang mempunyai masa berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) bulan, yang jika tidak ditingkatkan menjadi APHT akan batal demi hukum.
Penjelasan Pasal 15 ayat (5) UUHT tersebut di atas menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit kepemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait.
Dalam hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu yang Pasal 1 nya menyatakan bahwa:
“Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut di bawah ini berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan:
4. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;
b. Kredit Usaha Tani;
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya;
5. Kredit Kepemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan rumah, yaitu:
a. Kredit yang digunakan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi);
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (limapuluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai pembangunannya;
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana yang dimaksud huruf a dan b.
6. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain:
a. Kredit Umum Pedesaan (BRI);
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah)”.

Pemberlakukan SKMHT selama berlakunya perjanjian pokok, memberi celah untuk tanah yang tidak mempunyai sertipikat, karena SKMHT tersebut tidak perlu diberikan hak tanggungan dan tidak perlu didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 13 UUHT) mengingat masa pemberlakuannya tersebut. Dengan belum bersertipikatnya tanah tersebut, berarti tanah dimaksud belum terdaftar di Kantor Pertanahan, sehingga kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut diragukan.
Memperhatikan pula apa yang dinyatakan Surat Sekretaris Menteri Negara Agraria Nomor 130-016/Sesmen/96 tanggal 29 Mei 1996, perihal penjelasan mengenai UUHT dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 dan 4, dikatakan bahwa:
”... Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan, bahkan dalam penjelasan pasal pasal tersebut disebutkan sebagai contoh dilarangnya dimuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek HT ataupun memperpanjang hak atas tanah yang bersangkutan.
Kekhawatiran di atas tidak perlu ada, karena kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa dalam SKMHT untuk memuat janji-janji tersebut dalam APHT bukanlah kuasa untuk melakukan perbuatan lain daripada membebankan HT yang dilarang oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT. Pemuatan janji-janji itu adalah bagian dari perbuatan membebankan HT khususnya dalam pembuatan APHT. Apabila dikehendaki oleh pemberi kuasa bahwa di dalam APHT akan dimuat janji-janji tertentu, maka penerima kuasa memerlukan kuasa untuk mencantumkan janji-janji yang disepakati itu di dalam APHT...”

Jelaslah bahwa kekuatan SKMHT hanyalah sebagai lembaga kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan pemberian hak tanggungan terhadap objek hak tanggungan dikarenakan pemberi kuasa sebagai orang yang berwenang tidak dapat hadir sendiri untuk melakukan hal tersebut, tidak untuk melakukan perbuatan hukum selain daripada itu.
Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Keadaan yang dipaparkan di atas menimbulkan suatu ketidakpastian hukum, jika debitor wan prestasi (cidera janji), pihak bank sebagai kreditor pemilik dana tidak mempunyai kekuasaan sebagai krditor preferen tetapi dipersamakan dengan kreditor lainnya, sehingga bank tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi), karena SKMHT tidak memberikan kekuasaan untuk itu.
Walaupun nilainya kecil, tetapi dengan jumlah nasabah yang banyak, potensi kredit macet juga akan menjadi cukup besar dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal bank sendiri juga harus memperlakukan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UU Perbankan.
Jika terjadi kredit macet, sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktifa Yang Diklasifikasikan, upaya-upaya penyelamatan kredit yang dapat dilakukan oleh bank adalah, penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring).
Dengan memperhatikan paparan di atas, menurut Peneliti sekalipun kelonggaran dalam hal jaminan dapat diberikan pada kredit tertentu untuk menunjang pembangunan, prinsip kehati-hatian bank tetap harus dipertahankan untuk dapat membentuk bank yang sehat, dan jika terjadi kredit macet pada sektor kredit ini, dikarenakan tidak berlakunya parate eksekusi dan dengan memperhatikan upaya yang dapat dilakukan oleh bank terhadap kredit macet ini, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat Pembaharuan utang (novasi) jika ternyata debitur melakukan wan prestasi terhadap perjanjian utang piutang yang telah dibuat

F. Metode Penelitian
Untuk melakukan penelitian terhadap masalah yang berhubungan dengan topik penelitian ini, digunakan metode sebagai berikut:
7. Spesifikasi Penelitian.
Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang hak kreditor pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam melaksanakan eksekusi terhadap objek yang dijaminkan yang belum bersertipikat, digunakan penelitian yang bersifat Deskriptif Analitis.
8. Metode Pendekatan.
Metode yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan pendekatan yang lebih dititik beratkan pada data sekunder berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penulis juga menggunakan sumber data primer untuk data pendukung dalam menemukan permasahan yang akan diteliti berkaitan dengan hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat berdasarkan hak tanggungan dalam hal debitor wan prestasi.

9. Tahap Penelitian.
Penelitian terhadap tesis ini dilakukan 2 (dua) tahap, yaitu:
c. Penelitian Kepustakaan (library research), guna memperoleh data sekunder, dalam hal ini dilakukan pengkajian terhadap:
4) Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, , Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktifa Yang Diklasifikasikan.
5) Bahan Hukum Sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan ahli hukum yang berkaitan dengan hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat berdasarkan hak tanggungan dalam hal debitor wan prestasi..
6) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang berupa kamus, majalah, jurnal dan surat kabar.
d. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer sebagai pendukung analisis hasil penelitian. Penelitian lapangan dilakukan pada lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan, notaris, Ikatan Notaris Indonesia, Kantor Badan Pertanahan Nasional, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri.
10. Tekhnik Pengumpulan Data
c. Tekhnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder guna mendapat landasan teoritis dan memperoleh informasi dalam bentuk formal dan data melalui naskah resmi yang ada.
d. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung dengan responden yang terdiri dari teorotisi dan praktisi yaitu beberapa ahli hukum dan pejabat-pejabat di Kantor Badan Pertanahan Nasional, Bank dan beberapa Notaris yang berada di kota Bandung.
11. Metode Analisa Data
Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang berupa data primer dan data sekunder dilakukan dengan metode analisis kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi para responden. Dengan demikian merupakan analisis data tanpa menggunakan rumus-rumus matematik
12. Lokasi Penelitian.
Untuk memperoleh data penelitian dilakukan di Bandung. Data sekunder diperoleh di Perpustakaan Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan UNPAD, Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat UNPAD Bandung, Perpustakaan Universitas Islam Bandung, Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Pasundan. Untuk Penelitian Lapangan dilakukan di Kantor PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, Kantor Notaris, Kantor Badan Pertanahan Nasional yang berada di Bandung dan Malang.

G. Sistematika Penulisan.
Untuk Penulisan tesis ini, Peneliti akan memberikan secara garis besar tentang apa yang penulis teliti pada tiap-tiap bab dari tesis ini dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : Berisikan Pendahuluan. Pada bab ini, akan diuraikan tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Berupa uraian tentang tinjauan pustaka, pada pokoknya mengenai Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT); Pengertian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Dasar Hukum dan Azas-azas, Sifat dan Isi Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Batas Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Kedudukan Pihak-Pihak berdasarkan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Eksekusi Jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Pendaftaran tanah, Sertipikat tanah.
Bab III : Membahas mengenai kenyataan hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat berdasarkan hak tanggungan dalam hal debitor wan prestasi, yang didalam sub babnya akan membahas tentang sistem perkreditan yang memungkinkan dilakukan hanya dengan SKMHT, proses pemberian kuasa, proses dan latar belakang pemberian kuasa hak tanggungan, objek jaminan, akibat dan konsekkuensi bagi kreditor sebagai pemegang SKMHT.
Bab IV : Merupakan analisis Yuridis Normatif mengenai hak kreditor selaku pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam melaksanakan eksekusi terhadap tanah yang belum bersertipikat dalam hal debitor wan prestasi , yang disesuaikan dengan kedudukan dan upaya perlindungan terhadap Kreditor.
Bab V : Pada Bab ini, berisikan Simpulan dan saran dari Peneliti. Kesimpulan ini merupakan kristalisasi hasil penelitian, sedangkan saran-saran merupakan sumbangan pemikiran penulis yang berkaitan dengan hasil penelitian dimaksud.


























BAB. III
HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGUNGAN (SKMHT)DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT

3.1. Kedudukan Kreditor Selaku Pemegang Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap kreditor, yaitu :
3.1.1. Memberikan kedudukan yang utama kepada pemegangnya
Pengertian kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-kreditor lain yaitu bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya. Kedudukan diutamakan tersebut sudah tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang negara menurut ketentuan - ketentuan hukum yang berlaku
Dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ditentukan sebagai berikut :
Apabila debitor cidera janji maka berdasarkan Pasal tersebut :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6,atau
b. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor lainnya.Sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kreditor-kreditor lainnya tetapi piutang negara lebih utama dari kreditor pemegang Hak Tanggungan.
3.1.2. Hak Tanggungan selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada.
Pasal 7 UUHT menetapkan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objeknya berada, dengan demikian Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun Objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga.
3.1.3. Kedudukan Pemegang Hak Tanggungan terhadap Harta Kepailitan.
Menurut Pasal 21 UUHT, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT. Dengan demikian Objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditor-kreditor lain dari pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preference dari pemegang Hak Tanggungan terhadap Objek Hak Tanggungan terhadap kreditor-kreditor lainnya.
3.1.4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Menurut Pasal 6 UUHT, apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal 6 UUHT itu meberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate executie, yang artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan bahkan tidak pelu juga meminta penetapan dari Pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitor dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas Objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Pasal 1132 menyatakan bahwa kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitor dalam pelunasan utang debitor kecuali kreditor tersebut memiliki alasan yang sah untuk didahulukan menurut ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 1133 KUHPerdata, dinyatakan bahwa:
”Hak untuk didahulukan diantara para kreditor timbul karena hak istimewa, gadai dan hipotik.”
Setelah diundangkannya UUHT dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka selain kreditor yang memiliki tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133 KUHPerdata tersebut di atas, juga kreditor-kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia, memiliki pula kedudukan yang harus didahulukan (kreditor preferen) terhadap kreditor-kreditor konkuren (selain kreditor preferen).
Kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditor preference, berhak mendapat pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya dari debitor dibandingkan dengan kreditor lain yang tidak memegang hak untuk didahulukan. Hal ini sebagai jaminan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam UUHT.
Proses pemberian Hak Tanggungan ini melalui dua tahap, yaitu:
5. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang - piutang.
6. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Perjanjian utang piutang yang dibuat oleh debitor dan kreditor tersebut berlaku ketentuan – ketentuan perundang – undang yang berlaku baik yang bersifat imperatif maupun fakultatif, begitu juga untuk pebuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT), akan tetapi untuk Aktanya baik APHT maupun SKMHT harus dibuat dengan Akta autentik dengan akta notaris atau akta PPAT
Dalam pemberian Hak Tanggungan ini, maka debitor harus hadir dihadapan PPAT, yang jika tidak dapat hadir, debitor wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) secara autentik di hadapan Notaris atau PPAT yang berwenang. Pada saat pembuatan SKMHT dan APHT ini, harus sudah ada keyakinan kepada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan adalah orang yang berhak atau yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap Objek Hak Tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan didaftarkan.
Hak Tanggungan tidak serta merta lahir pada waktu pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan, tetapi lahir pada saat Hak Tanggungan tersebut didaftarkan dan dibukukan dalam Buku Tanah di Kantor Pertanahan.
Hal ini menurut Florianus SP Sangsun penting karena :
”Pendaftaran Tanah berguna untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah, memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan – ketentuan yang berlaku.”
Oleh karenanya kepastian mengenai saat didaftarkannya Hak Tanggungan , menjadi sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut tidak saja menentukan kedudukannya sebagai kreditor preference tetapi juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga memegang Hak Tanggungan. Untuk itu, UUHT menentukan tanggal hari ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh Kantor Pertanahan sebagai hari pendaftaran untuk menjamin kepastian hukum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan :
” Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebaninya”.

Sebagai bagian dari proses pendaftaran, sertipikat sebagai alat pembuktian hak atas tanah terkuatpun diterbitkan ; Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Pasal 1 angka 20 menyatakan :
” Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang – Undang Pokok Agraria untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan Hak Tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.
Florianus SP Sangsun menyatakan :
"Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Menurut Adrian Sutedi :
” Pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak didalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak.”
Selanjutnya Adrian Sutedi menyatakan :
” Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama di dalam persidangan di Pengadilan ialah Akta Peraturan Pemerintah dan Sertipikat ”
Jelaslah bahwa Hak Tanggungan itu baru mempunyai kekuatan yang mengikat dan menempatkan kreditornya sebagai kreditor yang didahulukan dari kreditor lainnya pada saat telah didaftarkan dan dibukukan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Dan apabila debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum.
3.2. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Hak Kreditor Dengan Dikeluarkannya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam membangun perekonomian dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, pemerintah merasa perlu ikut serta menentukan kebijakan dalam memecahkan masalah menyangkut kebutuhan dana terutama untuk usaha kecil dengan memberikan kelonggaran terhadap kredit-kredit tertentu, yaitu dengan hanya membuat SKMHT tanpa perlu meningkatkannya menjadi APHT, yang masa berlakunya adalah sama dengan masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Pasal 15 UUHT menyatakan bahwa:
“(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
h. tidak memuat kuasa substitusi;
i. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

(3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

(4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak ber-laku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”

Memperhatikan ketentuan Pasal di atas, dapat dilihat bahwa SKMHT adalah akta formil yang betuknya ditentukan dan hanya diperuntukkan khusus sebatas untuk memberikan atau membebankan Hak Tanggungan semata-mata, yang mempunyai masa berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) bulan, yang jika tidak ditingkatkan menjadi APHT akan batal demi hukum.
Penjelasan Pasal 15 ayat (5) UUHT tersebut di atas menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit kepemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait.
Dalam hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu yang Pasal 1 nya menyatakan bahwa:
“Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR Tanggal 29 Mei 1993 tersebut di bawah ini berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan:

7. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;
b. Kredit Usaha Tani;
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya;

8. Kredit Kepemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan rumah, yaitu:
a. Kredit yang digunakan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi);
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (limapuluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai pembangunannya;
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana yang dimaksud huruf a dan b.

9. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain:
a. Kredit Umum Pedesaan (BRI);
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah)”.

Pemberlakukan SKMHT selama berlakunya perjanjian pokok, memberi celah untuk tanah yang tidak mempunyai sertifikat, karena SKMHT tersebut tidak perlu diberikan Hak Tanggungan dan tidak perlu didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 13 UUHT) mengingat masa pemberlakuannya tersebut. Dengan belum bersertifikatnya tanah tersebut, berarti tanah dimaksud belum terdaftar di Kantor Pertanahan, sehingga kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut diragukan.
Memperhatikan pula apa yang dinyatakan Surat Sekretaris Menteri Negara Agraria Nomor 130-016/Sesmen/96 tanggal 29 Mei 1996, perihal penjelasan mengenai UUHT dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 dan 4, dikatakan bahwa:
”Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan, bahkan dalam penjelasan pasal - pasal tersebut disebutkan sebagai contoh dilarangnya dimuat kuasa untuk menjual, menyewakan Objek Hak Tanggungan ataupun memperpanjang hak atas tanah yang bersangkutan.
Kekhawatiran di atas tidak perlu ada, karena kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa dalam SKMHT untuk memuat janji-janji tersebut dalam APHT bukanlah kuasa untuk melakukan perbuatan lain daripada membebankan Hak Tanggungan yang dilarang oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT. Pemuatan janji-janji itu adalah bagian dari perbuatan membebankan Hak Tanggungan khususnya dalam pembuatan APHT. Apabila dikehendaki oleh pemberi kuasa bahwa di dalam APHT akan dimuat janji-janji tertentu, maka penerima kuasa memerlukan kuasa untuk mencantumkan janji-janji yang disepakati itu di dalam APHT”.

Jelaslah bahwa kekuatan SKMHT hanyalah sebagai lembaga kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan pemberian Hak Tanggungan terhadap Objek Hak Tanggungan dikarenakan pemberi kuasa sebagai orang yang berwenang tidak dapat hadir sendiri untuk melakukan hal tersebut, tidak untuk melakukan perbuatan hukum selain daripada itu, hal ini tidak sesuai dengan asas Hak Tanggungan dimana kreditor mempunyai hak diutamakan seperti yang terdapat dalam Pasal 6 UUHT yang menyatakan bahwa:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual Objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
3.3. Pelaksanaan SKMHT
3.3.1. Hal-Hak yang dapat ditimbulkan setelah dikeluarkannya SKMHT
Dalam hubungan hutang piutang antara debitor dan kreditor sering disertai dengan jaminan. Jaminan itu dapat berupa benda dan orang. Disini akan dibicarakan hubungan hutang-piutang dengan jaminan benda. Dengan adanya benda jaminan ini kreditor mempunyai hak atas benda jaminan untuk pelunasan hutang - piutangnya apabila debitor tidak membayar utangnya.
Benda jaminan itu dapat berupa benda bergerak atau tidak bergerak apabila jaminan itu benda tidak bergerak yang berupa tanah maka hak atas benda jaminan tersebut dapat dibebani dengan Hak Tangungan.
SKMHT tidak bisa dilepaskan dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang - piutang yang diserrtai penjaminan, diamana dengan dikeluarkannya SKMHT sebagai perjanjian formal dari perjanjian penjaminan yang nantinya untuk membebankan Hak Tangungan sebagai tindakan riilnya. Dengan demikian perjanjian jaminan bersifat assesoir terhadap perjanjian pokoknya, yaitu apabila perjanjian pokoknya telah dipenuhi maka dengan sendirinya perjanjian penjaminan akan hilang.
Mengingat benda jaminan dari Hak Tanggungan adalah benda tak bergerak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT yang menentukan bahwa :
“Hak Tanggungan atas tanah berserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sbagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor - kreditor yang lain”.

Berdasar ketentuan di atas dapat diuraikan adanya unsur-unsur Hak Tanggungan sebagai berikut :
1. Hak atas benda tak bergerak yaitu tanah,
2. Benda tak bergerak itu untuk jaminan utang,
3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu daripada kreditor - kreditor yang lain.( droit de preference )
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa SKMHT merupakan salah satu rangkaian (proses) pembebanan Hak Tanggungan. Unsur-unsur Hak Tanggungan diatas akan menjadi hak pemegang Hak Tanggungan setelah dibuatnya APHT. Dengan demikian dikeluarkannya SKMHT tersebut pihak kreditor belum memiliki hak kebendaan terhadap Objek Hak Tanggungan dengan kata lain hak kebendaan tersebut akan ada setelah ditandatanganinya APHT.
Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan ini meliputi kuasa untuk menghadap dimana perlu, memberikan keterangan-keterangan serta memperlihatkan dan menyerahkan surat-surat yang diminta, membuat / minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta surat-surat lain yang diperlukan, memilih domisili, memberi pernyataan bahwa Objek Hak Tanggungan betul milik pemberi kuasa tidak tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan dari beban apapun, mendaftarkan Hak Tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat serta janji-janji yang disetujui oleh pemberi kuasa dalam APHT tersebut.
3.3.2. Syarat-Syarat SKMHT
Sahnya suatu SKMHT selain harus dibuat dengan Akta Notaris atau dengan Akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus juga dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan,
2. Tidak memuat kuasa subsitusi,
3. Mencantumkan secara jelasa Objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitornya apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Dalam ketentuan di atas, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini menerangkan yang dimaksud dengan ” tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain ” adalah misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan Objek Hak Tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah. Dengan demikian, ketentuan tersebut menuntut SKMHT harus dibuat secara khusus yaitu hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja sehingga terpisah dari kata-akta lain”.

Pada prinsipnya semua kuasa subsitusi dapat diterapkan terhadap semua pemberian kuasa kalaupun ada larangan itu merupakan perkecualian. Letak perkecualiannya yaitu karena undang- undang menentukan demikian. Menurut Ign. Ridwan Widyadharma , SKMHT adalah surat kuasa khusus yang tidak dapat dicabut kembali serta tidak ada hak untuk mensubsitusikan serta pula memiliki bentuk dan ciri autentik. (1996 : 21)
Khusus yang dimaksud di atas adalah surat kuasa tersebut hanya untuk membebankan Hak Tangungan untuk kuasa yang lain dan tidak berakhir karena alasan dicabut kembali.
Dalam SKMHT harus secara tegas mencantumkan Objek Hak Tanggungan yaitu tanah beserta dengan segala sesuatu yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan yang diberikan sebagai jaminan (pasal 4 UUHT). Pencantuman dengan jelas Objek Hak Tanggungan dalam surat kuasa merupakan ketentuan yang logis dan patut demi kepastian hukum dan perlindungan baik kepada penerima kuasa maupun pemberi kuasa.
Blanko SKMHT dan Penggunannnya
Dalam hal kuasa membebankan Hak Tanggungan, pihak BPN telah menyediakan blanko formulir yang bisa dibeli di Kantor Pos. Penyediaan blanko formulir berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) , Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Disebut blanko formulir karena format SKMHT yang telah ditentukan oleh BPN tersebut terdapat tempat-tempat kosong yang tinggal diisi oleh Notaris atau PPAT yang disesuaikan dengan fakta dan data yang ada dan mencoret yang tidak perlu.
3.3.3.1. Unsur-unsur yang dicantumkan
Dalam blanko SKMHT dibedakan antara tanah yang bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat. Menurut J. Satrio dalam blanko SKMHT tersedia kolom-kolom yang harus diisi antara lain :
1). Untuk tanah yang sudah bersertifikat :
- berapa banyak hak atas tanah yang dijaminkan
- jenis haknya
- nomor sertifikatnya
- terdaftar atas nama siapa
- surat ukur/ gambar situasi tertanggal berapa dan nomor berapa
- cara perolehannya
- meliputi apa saja ( maksudnya apakah meliputi benda-benda yang
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya)
2). Untuk tanah yang belum bersertifikat
- luasnya
- terletak dimana
- batas-batasnya
- alat bukti yang menjadi dasar
- meliputi apa saja ( maksudnya apakah meliputi benda-benda yang
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya).
Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada kreditur agar mendapat gambaran yang jelas dan terang mengenai tanah yang dijadikan objek jaminan ;hal ini sesuai dengan asas spesialitas dari Hak Tanggungan yang dapat disimpulkan dari Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT.
Prof. DR. ST. Remy Sjahdeini, SH., Asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
3.3.3.2. Isi Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Isi kuasa membebankan Hak Tanggungan meliputi kuasa untuk menghadap dimana perlu, memberikan keterangan - keterangan serta memperlihatkan dan menyerahkan surat – surat yang diminta , membuat / meminta dibuatkan serta menanda tangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) serta surat – surat lain yang diperlukan, memilih domisili, memberi pernyataan bahwa objek Hak Tanggungan betul milik Pemberi kuasa, tidak tersangkut dalam sengketa , bebas dari sitaan, dan dari beban – beban apapun , mendaftarkan Hak Tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat – syarat atau aturan serta janji – janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) serta janji – janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) berupa janji-janji para pihak yang telah ditentukan secara tetap yang kesemuanya berkaitan dengan pembebanan Hak Tanggungan (Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 dan Surat Menteri Agraria/Kepala BPN no. 110-1039 tanggal 18 april 1996).
Dalam SKMHT juga memuat; untuk pelaksanaan janji – janji tersebut memberikan kuasa yang diperlukan kepada Pemegang Hak Tanggungan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);
Kuasa yang diberikan dengan SKMHT tidak dapat ditarik kembali dan tidak berakhir karena sebab apapun kecuali oleh karena telah dilaksanakan pembuatan APHT sesuai tanggal yang telah ditentukan serta pendaftarannya atau karena tanggal terrsebut telah terlampaui tanpa dilaksanakan pembuatan APHT
3.3.3.3. Janji – Janji dalam SKMHT
Janji – janji didalam SKMHT tidak diatur secara khusus dalam UUHT, akan tetapi di dalam formulir SKMHT janji - janjinya mencakup hal yang lebih luas yaitu janji - janji mengenai Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 11 UUHT). Yang dalam formulir SKMHT dinyatakan sebagai berikut :
1. Janji bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang sama besarnya sama dengan nilai masing – masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari Objek Hak Tanggungan yang akan disebut di bawah ini, dan yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa Objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang dilunasi.
2. Janji bahwa dalam hal Objek Hak Tanggungan kemudian dipecah sehingga Hak Tanggungan membebani beberapa Hak Atas Tanah, Debitor dapat melakukan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing – masing Hak Atas Tanah tersebut, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa Objek Hak Tanggungan untuk untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Nilai masing - masing hak atas tanah tersebut akan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua.
3. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan Objek Hak Tanggungan dan /atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
4. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan Objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
5. Janji yang memberikan kewenangan kepada kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola Objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumya meliputi letak Objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh – sungguh cidera janji.
6. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan Objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi Objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang – undang, serta kewenangan untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu dan/atau memperbaharui hak atas tanah yang menjadi Objek Hak Tanggungan.
7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri Objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.
8. Janji yang diberikan oleh Pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa Objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
9. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas Objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
10. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila Objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
11. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika Objek Hak Tanggungan diasuransikan.
12. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan Objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
13. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan diserahkan kepada dan untuk disimpan Pemegang Hak Tanggungan.
14. Janji – janji lainnya yang tidak bertentangan dengan kepatutan dan hukum.
3.3.3. 4. Jangka Waktu SKMHT
SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT (Pasal 15 Ayat 2 UUHT) sesuai dengan tanggal yang ditentukan dalam SKMHT tersebut. Ketentuan tersebut menurut J. Satrio dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Undang-Undang menetapkan bahwa kuasa membebankan merupakan kuasa mutlak.
b. Bahwa SKMHT bersifat sekali pakai/einmalig.
c. Bahwa berlakunya SKMHT adalah terbatas
Berhubungan dengan berakhirnya kuasa memnbebankan Hak Tanggungan yang akan dikaitkan dengan Objek Hak Tanggungan yang ada yaitu apakah yang dijadikan Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertifikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar (belum bersertifikat). Hal ini sesuai dengan Pasal 115 ayat (3) dan (4) UUHT yang menyatakan :
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian hak Tangungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
Surat Kuaa Membebnkan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan .
Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat dikecualikan dengan tidak perlu mentaati jangka wakru berlakunya surat kuasa (pasal 15 ayat 5 UUHT, yaitu dalam hal untuk menjamin kredit – kredit tertentu, misalnya KUT, Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Agraria /KBPN Nomor 4 tahun 1996 tentang Penjelasan Waktu Penggunaan SKMHT untuk Menjamin Pelunasan Kredit –Kredit Tertentu, yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok.
Habib Adjie mengemukakan suatu kesimpulan bahwa :
“Berakhirnya pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan bersifat khusus dan limitatif. Khusus artinya akan berakhir dalam keadaan yang sudah ditentukan berakhirnya. Limitatif artinya dalam keadaan tertentu kuasa tersebut akan tetap merujuk pada berakhirnya kuasa seperti yang tercantum dalam KUHPerdata, misalnya pemberi kuasa meninggal dunia dan atas tanah yang dijadikan tanggungan belum dilaksanaka pembuatan APHT sehingga berakhirnya kuasa tersebut bersifat komplementer (melengkapi) “.

Maksud berakhir dalam keadaan yang telah ditentukan di atas adalah sesuai Pasal 15 ayat 3 da 4, yaitu berakhir apabila telah dilakukan pembebanan Hak tangungan (pemasangan riil). Ketentuan KUHPerdata tetap berlaku apabila terjadi hal diluar perkiraan seperti pemberi kuasa meninggal dunia. Hal ini sesuai asas hukum dalam pelaksanannya yaitu lex spesialist derogat lex generalist ( ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum ). Ketentuan khusus yaitu UUHT, ketentuan umumnya adalah KUHPerdata.
3.4. Kredit-Kredit Yang Berhubungan Dengan SKMHT
Pembangunan Nasional yang salah satu tujuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, oleh karenanya memerlukan dana guna mendukung perkembangannya yang semakin lama semakin meningkat yang tentunya pembiayaannya juga meningkat.
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kepentingan ekonomi lemah, Pemerintah menetapkan batas waktu berlakunya SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. Hal ini dipertegas dengan adanya ketentuan yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu.
Dalam rangka menjamin pelunasan jenis-jenis kredit dibawah ini dengan Objek Hak Tanggungan berupa Hak atas Tanah yang pensertifikatannya sedang dalam proses pengurusan, SKMHT berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya Sertifikat Hak atas Tanah yang menjadi Objek Hak Tanggungan, Yaitu :
1. Kredit Produktif yang termasuk kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit Rp. 50 Juta (lima puluh juta rupiah) keatas sampai dengan Rp. 250 juta (dua ratus lima puluh juta rupiah)
2. Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR yang tidak termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah toko (ruko) oleh usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 dengan plafon tidak melebihi Rp. 250 juta, yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit tersebut.
3. Kredit untuk perumahan inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR lainnya yang dijamin dengan Hak Atas Tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut.
4. Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka kredit pemilikan rumah (KPR) yang termasuk dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan Hak atas Tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut.
SKMHT yang diberikan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/35/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1997, berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Adapun jenis-jenis kredit usaha kecil yang dimaksud adalah :
1. Kredit yang diberikan kepada nasanbah usaha kecil, yang meliputi :
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa (KUD)
b. Kredit Usaha Tani (KUT)
c. Kredit kepada Koperasi Primer kepada anggotanya
2. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan untuk pengadaan rumah, yaitu :
a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun (rusun) dengan luas tanah maksimum 200 m2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2.
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan kavling siap bangun dengan luas tanah 54 m2 dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya.
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/ pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b.
3. Kredit produktif yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50 Juta (lima puluh juta rupiah) , antara lain :
a. Kredit Umum Pedesaan
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah).
3.5. Hak Atas`Tanah Yang Dapat Dijadikan Objek SKMHT
Pentingnya penetapan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar (bersertifikat) maupun hak atas tanah yang belum terdaftar adalah guna penetapan batas waktu SKMHT untuk dipasang hak tanggungannya yaitu untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar batas waktunya 1 (satu) bulan dan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar batas waktunya 3 (tiga) bulan.
3.5.1. Tanah Yang Bersertifikat
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam Pasal 1 angka 20 dinyatakan sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruif c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan sertifikat ini diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada ukurannya, ataupun tanah-tanah yang sudah diselenggarakan pengukuran desa demi desa , karenanya sertifikat ini, merupakan pembuktian yang kuat baik subjek maupun objek hak atas tanah .
Hak atas tanah yang dimaksud adalah hak-hak atas tanah sebagaimana ditetapkan Pasal 16 UUPA, khususnya Hak atas Tanah primer yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh negara kepada subjek hak, sedangkan hak atas tanah sekunder adalah hak untuk menggunakan tanah dari pihak lain.
3.5.2. Tanah Yang Belum Bersertifikat
3.5.2.1. Pengertian Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat
Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut :
1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi (ayat (1)) sedang hak atas tanah adalah hak atas bagian tertentu permukaan bumi yang berbatas berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Pengertian hak atas tanah belum bersertifikat yaitu tanah yang telah dikuasai atau ditempati seseorang yang belum mempunyai sertifikat sebagai surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah.
Girik Sebagai Bukti Awal Dalam Menelusuri Kepemilikan Atas Tanah
Untuk permasalahan tanah yang berhubungan dengan girik tersebut adalah wewenang dari Badan Pertanahan Nasional setempat, sedangkan fungsi girik tersebut adalah untuk pembayaran pajak atas tanah dan bangunan.
Dalam praktek di lapangan sering timbul masalah girik ganda. Sebenarnya girik tersebut tidak akan terjadi penggandaan kalau administrasi baik secara teknis berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagaimana untuk mengetahui bahwa girik tersebut ganda atau tidak, karena kewenangan pengeluaran riwayat tanah oleh lurah atau kepala desa setempat maka untuk pelacakannya girik ganda atau tidak adalah kewenangan dari lurah setempat, perlu diketahui bahwa di kelurahan tersebut dapat diadakan pelacakan melalui peta-peta letter c dan buku daftar letter c yang menguraikan tentang riwayat tanah yang mengakui senbagai pemegang girik tersebut dan untuk pelacakan secara fisik dapat dilaksanakan penelitian di lapangan apakah tanah tersebut ganda kepemilikannya.
Masalah dasar hukum tentang girik ini tidak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, sehingga apabila terjadi wanprestasi perkara tersebut akan dilimpahkan kepada pengadilan. Sebelum tanggal 24 September 1960, girik tersebut adalah merupakan tanah milik adat, tetapi semenjak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang girik tersebuit bukan merupakan tanah bekas milik adat sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 UUPA mengenai ketentuan konversi tetapi merupakan sebagai bukti pembayaran pajak bagi mereka yang menikmati atas bumi dan bangunan tersebut.
Bilamana terjadi keberatan sedangkan jangka waktunya telah berlalu, maka keberatan tersebut tidak akan dipertimbangkan dan sertifikat tetap akan diproses, jika dalam jangka waktu pengumuman di koran ada yang merasa keberatan, maka kepada yang merasa keberatan mengajukan surat tertulis kepada Kantor Pertanahan dengan disertai bukti-bukti tanda yang dipermasalahkan untuk dibicarakan secara musyawarah dan mufakat kepada pihak-pihak yang terkait, langkah selanjutnya hasil dari musyawarah dan mufakat telah menghasilkan kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan, maka dibuatkanlah Berita Acara mengenai kesepakatan tersebut, kalau tidak terjadi kesepakatan tetap dibuatkan Berita Acara mengenai ketidaksepakatan tersebut, maka kantor pertanahan cukup melimpahkan permasalahan tersebut beserta Berita Acara secara hukum ke Kantor Pengadilan Negeri setempat dengan tembusan kepada pihak-pihak yang terkait dalam hal ini yaitu ; Badan Pertanahan Nasional setempat , Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Lurah setempat sebagai yang menguasai kewenangan atas penerbitan riwayat tanah yang berdasarkan girik tersebut.
Dalam masalah teknis bahwa girik yang dinyatakan sebagai bekas tanah milik adat dapat dibuktikan tercatat dalam kearsipan kantor lurah setempat bukan merupakan tanda bukti hak sebagaimana sertifikat hak atas tanah merupakan alat bukti kepemilikan tanda tersebut yang dapat dipergunakan sebagai kelengkapan pendaftaran pengakuan hak.
Apabila terjadi sengketa batas tanah yang mempunyai kepemilikan girik tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti mengenai kepastian batas-batas letak tanah karena tidak terdapat bukti-bukti surat ukur sebagaimana yang terlampir pada sertifikat hak atas tanah dengan demikian peraturan Badan Pertanahan Nasional sangat menentukan dalam menunjang proses pendaftaran tanah khusus mengenai girik atau letter c sebagai tanah milik adat sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.
3.6. EKSEKUSI
3.6.1. Pengertian Eksekusi
Istilah Eksekusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, adalah pelaksanaan/ menjalankan putusan.
Dalam literatur terdapat 2 definisi eksekusi yaitu dalam arti sempit dan luas. Eksekusi dalm arti sempit dikemukakan oleh Victor Situmorang, karena eksekusi hanya dilihat sebagai hal menjalankan putusan pengadilan, yaitu :
“Eksekusi adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses Hukum Acara Perdata, juga eksekusi ii dapat diartikan menjalankan putusan pengadilan, yaitu menjalankan secar paksa putua pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tida mau menjalankan secara sukarela, eksekusi itu dapat dijalankan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, yaitu eksekusi adalah upaya paksa yang dilakukan terhadap pihak yang kalah yang tidak mau secara sukarela menjalankan putusan pengadilan, dan bila perlu dengan bantuan kekuatan hukum.
Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa paksaan putusan/eksekusi adalah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yangb tercantum dalam putusan .
Dari ketiga definisi diatas yang dimaksud eksekusi dalam arti sempit yaitu eksekusi yang hanya menjalankan putusan pengadilan saja tidak termasuk eksekusi yang lain, misalnya grosse surat utang notariil dan benda jaminan baik berupa benda tetap maupun benda bergeraksebagaimana terdapat pada Pasal 224 HIR jo Pasal 14 ayat (3) UUHT, Pasal 1778 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 1155 KUHPerdata dan Pasal 666 KUHPerdata.
Selanjutnya pengertian eksekusi dalam arti luas dikemukakan oleh Moch Dja’is, yaitu :
“Hukum eksekusi merupakan bagian dari Hukum Acara Perdata yang mengatur upaya paksa untuk merealisasikan hak terhadap termohon eksekusi atau Debitor yang tidak mau secara sukarela melaksanakan kewajibannya. Hak seseorang yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan , perjanjian dan atau putusan pengadilan akan sia-sia belaka bila tidak direalisasikan. Dalam hal-hal tertentu realisasi hak tersebut dilaksanakan oleh penguasa, untuk itu diperlukan permohonan eksekusi dari kreditor”

Dalam pengertian diatas diketahui bahwa eksekusi timbul karena debitor tidak mau melaksanakan secara sukarela kewajibannya atau ingkar janji, maka diperlukan upaya paksa dengan peraturan undang-undang yang berlaku.
3.6.2. Jenis-Jenis Eksekusi
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia” , menyebutkan adanya beberapa jenis pelaksanaan putusan atau eksekusi, yaitu:
a. Eksekusi membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR).
Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan
Diatur dalam pasal 225 HIR. Orang tak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan, namun pihak yang dimenangkan oleh Hakim dapat meminta agar kepentingannya dinilai dengan uang.
c. Eksekusi Riil
Eksekusi ini merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh Putusan Hakim secara langsung .
Selain 3 jenis eksekusi di atas, Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa masih terdapat/dikenal apa yang namanya parate eksekusi/eksekusi langsung. Parate eksekusi terjadi apabila dalam perjanjian gadai si pemberi gadai cidera janji sehingga kreditor dapat menjual langsung barang-barang milik debitor (Pasal 1155 KUHPerdata).
Pembagian eksekusi yang lain menurut Moch. Dja’is, yaitu :
a. Berdasarkan obyeknya, eksekusi terdiri dari :
1. Eksekusi putusan Hakim
2. Eksekusi benda jaminan
3. Eksekusi grosse surat utang notariil
4. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak atau kepentingan
5. Eksekusi surat pernyataan bersama
6. Eksekusi surat paksa
b. Berdasarkan prosedur, eksekusi terdiri dari :
1. Eksekusi tak langsung yaitu eksekusi berupa hasil upaya paksa secara tidak langsung untuk tercapainya realisasi hak. Eksekusi tidak langsung terdiri dari :
a). Membayar uang paksa/dwangsom.
b). Sandera/gijzeling
c). Tindakan paksaan lain yaitu pada umumnya berupa pemutusan/penghentian perjanjian yang prestasinya berlangsung terus menerus, misalnya PAM, PLN (listrik), Telkom (telepon).
2. Eksekusi langsung yaitu upaya paksa untuk merealisasi hak. Eksekusi langsung terdiri dari :
a). Eksekusi biasa/eksekusi membayar sejumlah uang
b). Eksekusi melakukan suatu perbuatan
c). Eksekusi dengan pertolongan Hakim
d). Eksekusi parate/langsung
e). Eksekusi penjualan di bawah tangan
f). Eksekusi Riil, dibagi 4 (empat) yaitu :
(1). Eksekusi Riil terhadap putusan pengadilan.
(2). Eksekusi Riil terhadap obyek lelang eksekusi diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.
(3). Eksekusi Riil berdasarkan undang-undang (Pasal 666 KUHPerdata, mengenai eksekusi terhadap dahan dan akar)
(4). Eksekusi Rill berdasarkan perjanjian (perjanjian dengan kuasa dan perjanjian penegasan) terhadap piutang sebagai jaminan dan benda milknya sendiri (Moch. Dja’is, 2000 : 9-10)
Apabila dilihat dari pembagian eksekusi dari kedua pendapat tersebut, terdapat perbedaan yaitu eksekusi membayar sejumlah uang, eksekusi melakukan perbuatan dan eksekusi riil yang disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo, dapat dikategorikan sebagai eksekusi putusan hakim sedangkan eksekusi putusan hakim termasuk pembagian eksekusi berdasarkan obyeknya sebagaimana dikemukakan oleh Moch. Dja’is.
Pembagian eksekusi yang sama dikemukakan oleh Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, ada 2 bentuk , yaitu :
a. Eksekusi adalah yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk tindakan nyata atau riil yang :
1). Telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
2). Bersifat dijalankan terlebih dahulu
3). Berbentuk provisi, dan
4). Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.
b. Eksekusi pembayaran sejumlah uang yang tidak hanya didasarkan atas bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, berupa :
1) Grosse akta Hipotik
2) Grosse akta verband (1993 : 129)
Melihat eksekusi tersebut diatas bahwa grosse akta hipotik dan pengakuan hutang merupakan bentuk eksekusinya pembeyaran sejumlah uang. Eksekusi tehadap pembayaran sejumlah uang yang bentuknya berupa grosse akta hipotik dan pengakuan hutang tersebut merupakan eksekusi pengecualian yang diatur dalam Pasal 224 HIR junto Paal 14 ayat (3) UUHT dan Pasal 258 RBg, yautu eksekusi yang dijalankan pengadilan bukan berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi yang merupakan isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dimana telah ada irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan .
3.6.3. Eksekusi pada Jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan mempunyai kedudukan yang diutamakan apabila debitor melakukan wanprestasi, dengan demikian piutang-piutang kreditor terlindungi.
Pasal 20 Undang - Undang Hak Tanggungan mengatur jenis-jenis eksekusi yang dapat dilaksanakan terhadap Hak Tanggungan yaitu :
1. Dengan title Eksekutorial
2. Parate Eksekusi
3. Penjualan dibawah tangan
Pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan objek jaminan tersebut (Pasal 6 UUHT) pelaksanaan eksekusi sebagaimana tersebut diatas disebut juga dengan parate eksekusi (Pasal 1178 KUHPerdata) atau dapat juga dengan Pasal 229 HIR/258 RBG.
Parate Eksekusi merupakan eksekusi langsung tanpa adanya suatu title eksekutorial, grose akta notaris ataupun keputusan hakim, yang dilakukan oleh kreditur pemegang gadai dan hipotik (sekarang Hak Tanggungan) pertama dengan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
Hak untuk menjual objek jaminan Hak Tanggungan ini merupakan perwujudan dari kedudukan yang diutamakan dari pemegang Hak Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.
Pelaksanaan eksekusi dapat juga dilakukan oleh pemegang sertifikat Hak Tanggungan dengan title eksekutorial yang termuat dalam sertifikat Hak Tangungan sebagaimana yang termuat dalam penjelasan Pasal 14 (2) UUHT.
Penjualan objek jaminan harus dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan dan harus dilakukan melalui pelelangan umum, pelelangan ini bermaksud agar supaya penjualan objek jaminan Hak Tanggungan itu dapat dilakukan secara jujur, ketentuan mengenai adanya suatu keharusan penjualan dimuka umum diatur dalam Pasal 20 UUHT.
Apabila pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu untuk meminta suatu persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu untuk meminta penetapan ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tetapi cukup hanya mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang setempat untuk melaksanakan pelelangan.
Sedangkan apabila permohonan eksekusi dilakukan melalui pengadilan negeri, maka Ketua Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan akan memanggil debitor yang cidera janji dan debitor yang cidera janji tersebut akan ditegur untuk dalam jangka waktu 8 (delapan) hari untuk melunasi kewajibannya dan apabila debitor tetap lalai maka Objek Hak Tanggungan akan dilelang dengan didahului dengan pengumuman dalam surat kabar yang terbit di kota tempat barang tersebut berada sebanyak 3 kali berturut-turut dengan tenggang waktu selama 15 hari antara pengumuman pertama dan pengumuman kedua.
Selain eksekusi dengan jalan pelelangan dimuka umum sebagaimana tersebut diatas maka pemenuhan piutang debitor dapat pula dilakukan dengan jalan dibawah tangan dengan ketentuan bahwa penjualan yang dilakukan dibawah tangan tersebut haruslah terlebih dahulu disepakati oleh para pihak.
Maksud penjualan dibawah tangan ini adalah agar dalam penjualan Objek Hak Tanggungan dapat diperoleh harga yang tinggi yang menguntungkan kedua pihak.
Penyelesaian dibawah tangan ini dapat menggunakan jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) apabila para pihak dalam perjanjiannya telah menentukan sebelumnya dalam perjanjian mereka, bahwa apabila di kemudian hari terjadi sengketa maka para pihak memilih jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dalam penyelesaian sengketa yang terjadi.
Sedangkan pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah :
disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Sifat dari putusan APS ini merupakan kesepakatan diantara pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian untuk menyerahkan kepada APS bila terjadi perselisihan atau sengketa diantara mereka perjanjian penyelesaian sengketa melalui APS harus dilakukan secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak jika kedua belah pihak tidak mampu menanda tangani maka persetujuan harus dibuat dihadapan seorang notaris.
Sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktifa Yang Diklasifikasikan, jika terjadi kredit macet upaya-upaya penyelamatan kredit yang dapat dilakukan oleh bank adalah, penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring).
3.6.4. Eksekusi Tehadap Pelaksanaan SKMHT
Eksekusi terhadap pelaksanan SKMHT tidak diatur secara khusus dalam UUHT, akan tetapi mencakup hal yang lebih luas yaitu eksekusi hak tanggungan (Pasal 20 ayat 1 UUHT).
Eksekusi dalam pelaksanaan SKMHT lebih erat kaitannya dengan tindakan para pihak ( pemberi kuasa dan penerima kuasa / pihak ketiga ). Tindakan tersebut berkenaan dengan kewajiban dari para pihak yang terikat dengan janji-janji yang telah ditentukan secara terbatas – tegas dalam blanko SKMHT, karena janji-janji tersebut telah ditetapkan isinya oleh BPN. Dengan kata lain kewajiban para pihak dalam SKMHT bersifat memaksa.
Dr. Herlien Budiono, S.H., mengemukakan:
“Perjanjian pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan mempunyai sifat memaksa dalam arti para pihak tidak bebas untuk menentukan sendiri baik bentuk maupun isi dari perjanjian pembuatan SKMHTnya; akibat tidak dilakukan pembuatan Akta SKMHT sesuai dengan ketentuan tersebut menyebabkan akta tersebut tidak mempunyai akibat hukum atau batal demi hukum”.

Selanjutnya Dr. Herlien Budiono, S.H., mengemukakan ketentuan perundang-undangan mengenai bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dalam segala peraturan pelaksanaannya tidak lepas daripada ketentuan, baik mengenai akta autentik maupun perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam KUHPerdata.
























BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT UNTUK MELAKUKAN EKSEKUSI TERHADAP DEBITOR WANPRESTASI

4.1. Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan
Menurut Djuhaendah Hasan didalam KUHPerdata tidak ada ketentuan bagaimana seharusnya bentuk suatu perjanjian, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian dapat berupa perjanjian tertulis dan perjanjian tidak tertulis. Didalam perjanjian kredit juga tidak ada ketentuan bahwa suatu perjanjian kredit harus dalam bentuk tertentu atau harus tertulis, sehingga dapat saja perjanjian kredit diberikan dalam bentuk tidak tertulis.
Menurut Ketentuan Intruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1996 juncto SEB. Unit 1 No.25/539/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera No.10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menetukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank – bank wajib mempergunakan /membuat akad perjanjian kredit.
ST Remy Sjahdeini menyatakan ;
Dengan menyebutkan ketentuan – ketentuan itu bahwa bank wajib mempergunakan/membuat akad perjanjian kredit,maka dunia perbankan telah menafsirkan bahwa perjanjian kredit bank harus dilaksanakan secara tertulis. Dunia perbankan dalam hal ini melakukan penafsiran secara teleologis (dilihat dari tujuan dikeluarkannya peraturan itu).
Pada Bank X dan Bank Y Perjanjian Kredit dibuat secara tertulis
Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit dengan 2 (dua) bentuk atau cara yaitu :
Perjanjian kredit berupa akta di bawah tangan.
1. Perjanjian kredit berupa akta notaris.
Perjanjian kredit yang dibuat baik dengan akta di bawah tangan maupun akta notaris, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu dengan cara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan pihak nasabah, menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam hal perjanjian kredit bank dibuat dengan Akta Notaris, maka bank akan meminta notaris berpedoman kepada model perjanjian kredit dari bank yang bersangkutan. Notaris diminta untuk memedomani klausaul-klausul dari model perjanjian kredit bank yang bersangkutan.
Pada Bank X dan Bank Y bentuk perjanjian kreditnya merupakan perjanjian baku yang dibuat dibawah tangan dengan dilegalisasi oleh Notaris meskipun begitu bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank lain tidak sama yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan.
Pada Bank X :
Pasal 1. Memuat Panggunaan Syarat – Syarat Umum
Pasal 2. Memuat Jumlah, Tujuan, Sifat, Jangka Waktu, dan Angsuran Kredit
Pasal 3. Memuat Penarikan Kredit
Pasal 4. Memuat Pembayaran Kembali
Pasal 5. Memuat Bunga dan Biaya – Biaya Lainnya
Pasal 6. Memuat Denda
Pasal 7. Memuat Agunan dan Asuransi
Pasal 8. Memuat Syarat – Syarat Lain
Pasal 9. Memuat Komunikasi
Pasal 10. Memuat Aneka ketentuan dan Tempat Kedudukan Hukum
Pada Bank X dilampirkan Asli Surat jual Beli Bangunan,BPKB kendaraan Bermotor,Daftar Persedian Usaha dan Peralatan yang terdiri dari ; Jaminan Utama Usaha yang sedang dijalankan , Jaminan Tambahan Tanah dan Bangunan., Kendaraan Bermotor dan Persediaan Barang dan Peralatan.
Pada Bank Y :
Pasal 1. Memuat Fasilitas Kredit
Pasal 2. Memuat Kuasa - Kuasa
Pasal 3. Memuat Pernyataan dan Jaminan
Pasal 4. Memuat Kompensasi
Pasal 5. Memuat Pengalihan Hak
Pasal 6. Memuat Peristiwa Kelalaian
Pasal 7. Memuat Jaminan
Pasal 8. Memuat Kertentuan Penutup
Pada Bank Y dilampirkan Daftar Angsuran dari Bank dan Surat Pernyataan Penjaminan yang terdiri dari ; Jaminan Utama Barang Usaha dan Piutang Usaha, Jaminan Tambahan Tanah dan Bangunan.

4.2. Lembaga Jaminan Hak Tanggungan dan Manfaatnya Bagi Pengusaha Kecil
Peran serta usaha kecil dalam perekonomian negara sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, apalagi dengan kedudukannya sebagai mayoritas pelaku usaha di Indonesia semakin membuka mata pemerintah untuk mau tidak mau memberi perhatian lebih pada usaha kecil.
Perhatian lebih itu bisa jadi diwujudkan pemerintah dengan mengundangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 berusaha mengakomodir kepentingan Pengusaha Kecil, karena Jaminan Hak Tanggungan dan pengaturan tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan sangatlah diperlukan bagi usaha kecil.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 diharapkan pengaturan jaminan mengenai tanah dan berserta Hak Atas Tanah yang selama ini hanya berdasarkan Undang – Undang Pokok Agraria, sekarang telah mendapatkan tempatnya dalam hukum positif Indonesia, sehingga selanjutnya diharapkan pelaksanaan Jaminan Tanah dan Hak Atas Tanah lainnya dapat lebih menjamin kepastian hukum bagi para pihak, karena bagi negara kita yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental perundang-undangan merupakan sumber hukum yang utama (primer).
Bagi pengusaha kecil, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 telah membawa perubahan yang cukup berarti bagi pelaksanaan pemberian kredit bagi mereka. Perubahan tersebut antara lain dalam pelaksanaan pengikatan jaminan, pendaftarannya dan kekuatan Jaminan terhadap tanah beserta hak – hak atas tanah yang memiliki sifat sebagai hak kebendaan. Perubahan yang ada tentu saja ada yang menguntungkan dan memberi manfaat bagi pengusaha kecil tctapi di sisi lain ada pula pasal-pasal yang memberatkan bagi pengusaha kecil.
Manfaat yang dapat dirasakan oleh pengusaha kecil setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 adalah sebagai berikut :
1. Dengan adanya ketentuan bahwa dapatnya tanah yang terdaftar dan belum terdaftar milik debitor dapat diberikan pembebanan dengan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, maka debitur yang dalam hal ini adalah pengusaha kecil dapat tetap meningkatkan permodalannya,Sebagaimana diketahui pengusaha kecil pada umumnya tidak memiliki dana yang cukup besar agar dapat membuat sertifikat tanahnya yang dapat dijadikan jaminans Hak Tanggungan atau dibuatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, oleh karenanya pengusaha kecil hanya dapat menjaminkan tanah yang belum mempunyai sertifikat atau belum dibalik namakan untuk menjalankan usahanya.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996:
2. Jaminan Hak Tanggungan bersifat "accessoir", ini berarti perjanjian Jaminan Hak Tanggungan mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kreditnya dan dengan hapusnya perjanjian pokok maka hapus pula perjanjian jaminannya. Jadi kesimpulannya adalah: dengan dilunasinya hutang debitur kepada kreditur, yang mengakibatkan perjanjian kredit menjadi hapus maka perjanjian Jaminan Hak Tanggungan juga menjadi hapus karenanya dan Hak atas tanah yang menjadi jaminan kembali kepada debitur tanpa perbuatan hukum apapun. Ketentuan mengenai sifat accesoir ini terdapat dalam Pasa10 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan .
3. Pembebanan Hak atas tanah Jaminan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungana dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Hak Atas Tanah , hal ini berarti akta Jaminan membebankan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sebab berbentuk akta notariil. Dengan demikian kedudukan para pihak pun menjadi lebih kuat karenanya, hak maupun kewajiban para pihak menjadi lebih jelas dan pasti. Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam pasal 10 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996
4. Pasal 4 dan 15 berisi uraian yang sangat luas terhadap objek Jaminan Hak Tanggungan, di samping itu diperluasnya batas waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk kredit – kredit tertentu ,sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 , berarti menambah ragam kemungkinan juga bagi pengusaha kecil untuk menjaminkan Hak atas Tanah miliknya.
Manfaat yang telah disebutkan di atas adalah manfaat yang dapat dirasakan oleh pengusaha kecil setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996. Bila dilihat secara seksama, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 maka dapat mengakomodir kepentingan pengusaha kecil.

4.3. Kedudukan SKMHT dalam Perkreditan di Dunia Perbankan.
Sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan guna mencapai tujuan hukum yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan Undangp-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, hal ini untuk mewujudkan terciptanya suatu Lembaga Jaminan Hak atas Tanah yang kuat dan mampu memberikan jaminan perlindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat.
Sesuai dengan UUHT , menurut Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya
Dari rumusan yang diberikan dalam pasal 10 dan 15 UUHT dapat diketahui bahwa pemberian HT harus dan hanya dapat diberikan melalui Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT), yang dapat dilakukan langsung dengan APHT , berdasarkan Pasal 8 UUHT dan Tidak Langsung dalam bentuk pemberian SKMHT, berdasarkan Pasal 15 UUHT, dengan memperhatika ketentuan yang diatur dalam peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor. 4 Tahun 1996 Tentang penetapan batas waktu penggunaan SKMHT untuk menjamin Pelunasan Kredit – kredit tertentu.
Dengan lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya kepada pihak ketiga apabila telah didaftarkan di Kantor Pertanahan, untuk tanah yang bersertifkat dapat dibuatkan APHT, tetapi yang belum bersertifikat dibuatkan SKMHT, yang syarat berlakunya, maximal 1 bln ,bagi APHT, dan 3 Bln untuk SKMHT; tetapi tidak semua masyarakat yang membutuhkan kredit itu mempunyai dana mensertifikatkan tanahnya sehingga untuk mengakomodasinya kepentingan tersebut untuk SKMHT kredit tertentu masa berakhirnya SKMHT sama dengan berakhirnya perjanjian pokoknya.
SKMHT adalah surat kuasa yang diberikan pemberi Hak Tanggungan kepada Kreditor sebagai penerima Hak Tanggungan untuk membebankan Hak Tanggungan atas Objek Hak Tanggungan . SKMHT merupakan surat kuasa khusus yang menberikan kuasa kepada Kreditor khusus untuk membebankan Hak Tanggungan saja.
Dengan membuat SKMHT berarti pemberi Hak Tanggungan tidak melakukan sendiri dalam pembebanan Hak Tanggungan yang tetapi memberi kuasa kepada penerima Hak Tanggungan untuk sewaktu-waktu membebankan Hak Tanggungan sesuai dengan kehendak Bank. Kebiasaan pembuatan SKMHT yang tidak segera diikuti pembebanan Hak Tanggungan tidak memberi keamanan bagi kreditor karena hanya dengan membuat SKMHT berarti Hak Tanggungan belum lahir sehingga Kreditor belum memiliki hak preference terhadap jaminan tersebut. Kebiasaan pembebanan Hak Tanggungan yang didahului dengan membuat SKMHT dikarenakan beberapa sebab, yaitu :
1. Biaya pembebanan Hak Tanggungan cukup mahal. Biaya pembebanan Hak Tanggungan dibebankan kepada debitor sehingga dengan biaya yang mahal memberatkan keuangan debitor.
2. Kredit yang nilainya kecil, Kreditor merasa tidak perlu segera memasang Hak Tanggungan. Pemasangan Hak Tanggungan baru dilakukan bila ada tanda-tanda kualitas kredit debitor bermasalah. Dengan memiliki SKMHT, Kreditor setiap saat dapat membebankan Hak Tanggungan tanpa harus menghadirkan pemberi jaminan.
3. Sertifikat hak atas tanah yang menjadi Objek Hak Tanggungan belum terbit pada saat kredit diberikan, masih dalam proses penyelesaian.
4. Untuk melakukan roya parsia terhadap tanah yang telah dibebani Hak Tanggungan dalam prakteknya tidak mudah sehingga Bank menghindarkan untuk memasang Hak Tanggungan. Roya parsial diperlukan dalam rangka penjualan rumah-rumah (dengan fasilitas KPR yang dibangun diatas tanah yang dibebani HT).
Menurut Pasal 15 UUHT, SKMHT harus memenuhi syarat-syarat agar dapat digunakan oleh Kreditur
Bank sebagai pemberi pinjaman kredit mempunyai kepentingan terhadap keamanan kredit yang disalurkannya, kredit sebagai suatu usaha bank yang paling utama kelangsungan kegiatan usaha bank tergantung pada kelancaran kredit yang disalurkannya.
Untuk menjaga agar kredit yang disalurkannya aman, bank umumnya meminta suatu jaminan, hal ini didasarkan karena bank mencegah terjadinya kredit macet yang mungkin akan terjadi dikemudian hari, apalagi setelah terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan bank-bank umumnya lebih berhati-hati dalam memberikan kredit.
Walaupun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak disyaratkan bank harus meminta jaminan terhadap setiap kredit yang disalurkannya, cukup hanya dengan keyakinan bank terhadap kemampuan debitornya untuk mengembalikan pinjaman dikemudian hari tetapi dalam pakteknya pada umumnya bank lebih memilih meminta jaminan.
Bank meminta jaminan kredit lebih menghendaki jaminan dengan hak kebendaan yaitu dengan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan ini dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan eksekusinya apabila debitor telah wanprestasi dibandingkan dengan jaminan jaminan yang lainnya.
Untuk mengikat kredit dengan Hak Tanggungan, harus melalui prosedur membebankan Hak Tanggungan, ketentuan mengenai pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam "Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 dan prosedur pembebanannya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996.
Pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Hak Tanggungan wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau disingkat PPAT, apabila pemberi Hak Tangungan tidak dapat menghadap dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dapat memberikan kuasa untuk mewakilinya untuk menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah, kuasa tersebut harus dalam bentuk kuasa yang autentik yang dapat dibuat dihadapan pejabat yang berwenang baik itu Notaris maupun Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT).
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ini harus segera dilaksanakan karena dibatasi oleh jangka waktu, (diatur dalam pasal 15 ayat (3) dan (4) Undang-undang Hak Tanggungan) Surat kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan sedangkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat¬ lambatnya 3 (tiga) bulan.
Apabila dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Hak Tanggungan tidak segera dilaksanakan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang telah dibuat sebelumnya batal demi hukum.
Pembatasan jangka waktu 1 (satu) bulan untuk tanah-tanah yang bersertifikat dan 3 (tiga) bulan untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat dalam praktek perbankan dirasakan terlalu singkat karena dalam praktek yang terjadi pada umumnya tanah-tanah yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar memakan waktu yang lebih lama dalam proses pengurusannya, akibatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) batal demi hukum, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dibuat APHT yang baru, pengulangan untuk membuat akta pemberian Hak Tanggungan yang baru akan memberikan kesulitan bagi bank diantaranya :
1. Kemungkinan debitor yang telah mendapatkan kredit menolak untuk membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang baru.
2. Dalam jangka waktu tersebut dapat saja terjadi kredit macet karena adanya faktor diluar dugaan semula (misalnya terjadi krisis moneter).
3. Memerlukan biaya-biaya untuk pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan yang baru.
4. Memakan waktu sehingga kurang efisien. Mengenai jangka waktu sebagaimana yang diatur Undang-undang Hak Tanggungan terlalu singkat

Menurut pendapat Remy Sjahdeini bahwa :

"Bila diperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk proses pendaftaran hak atas tanah yang belum bersertifikat, banyak yang meragukan bahwa dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sertifikat Hak Tanggungan atas tanah itu dapat dikeluarkan sehingga lebih realistis apabila jangka waktu berlakunya Surat Kuasa Memmbebankan Hak Tanggungan (SKMHT) bagi tanah-tanah yang belum terdaftar ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan bukan sejak diberikannya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tersebut tetapi selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sertifikat hak- atas tanah yang bersangkutan".

Penambahan jangka waktu tersebut diharapkan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk mengurus proses kelengkapan persyaratan terutama yang berkaitan dengan pengurusan tanah-tanah yang bersertifikat yang belum dalam kewenangan pemberi Hak Tanggungan dan tanah yang belum bersertifikat yang masih merupaikan tanah-tanah adat sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, namun dengan ditambahnya jangka waktu pengurusan akan menambah jangka waktu pengurusan pembebanan Hak Tanggunban sehingga tidak efisien karena menambah lebih panjangnya proses pengurusan dalam pembebabanan Hak Tanggungan.
Menurut hemat penulis seharusnya sebelum pembebanan Hak Tanggungan dilakukan hendaknya kewenangan mengenai hak atas tanah terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar dan bersertifikat yang belum atas nama ( Kewenangan) pemberi Hak Tanggungan terlebih sudah berada dalam kewenangan pemberi Hak Tanggungan, sehingga dalam proses pembebanan Hak Tanggungan atas tanah-tanah tersebut sudah atas nama pemberi Hak Tanggungan, sehingga dalam pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungannya (APHT) tidak perlu lagi untuk mengadakan balik nama lagi untuk menentukan kewenangan pemberi Hak Tanggungan sebagai mana yang diatur dalam pasal 15 ayat 3 dan 4 Undang¬-undang Hak Tanggungan.
Dengan demikian dapat menghindari batalnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tangungan (SKMHT) dalam jangka waktu sebagaimana disebuTkan dalam Pasal 15 ayat 3 dan 4 Undang-undang Hak Tanggungan.
Ketentuan mengenai jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pasal 15 ayat 3 dan 4 tersebut tidak berlaku apabila Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diberikan untuk pemberian kredit-kredit tertentu terutama kredit program, kredit usaha kecil, kredit permahan dan kredit-kredit lainnya.
Menurut penulis adanya Ketentuan mengenai jangka waktu yang disebutkan pasal 15 ayat (3) dan (4) tidak berlaku apabila Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diberikan untuk pemberian kredit-kredit tertentu, bertentangan dengan Undang-undang Hak Tanggungan itu sendiri yang mengharuskan adanya pembuatan SKMHT dan APHT dalam pembebanan Hak Tanggungan, jika dilihat dari tata urutan Perundang-undangan maka keputusan menteri yang membolehkan tidak berlakunya SKMHT dan APHT terhadap kredit-¬kredit tertentu tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Hak Tanggungan.
Selanjutnya dalam Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk memperoleh Hak Tanggungan ditentukan pengurusannya dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari dan Hak Tanggungan itu sendiri baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku tanah dikantor pertanahan sehingga kepastian mengenai saat didaftarkannya Hak Tanggungan adalah sangat penting bagi kreditor.
Pasal 13 ayat 4 Undang-undang Hak Tanggungan menentukan bahwa, tanggal buku Hak Tanggungan dan pencacatan adanya Hak Tanggungan pada buku tanah dalam sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran Hak Tanggungan.
Adanya tenggang waktu dalam pengurusan untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut menurut hemat penulis akan dapat merugikan kepentingan kreditur, kerugian tersebut dapat terjadi apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan Undang-undang Hak Tanggungan yaitu dimulai pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungannya (APHT) dan dilanjutkan dengan pendaftaran Hak Tanggungannya terjadi kredit macet.
Kredit macet dapat terjadi sebelum dikeluarkan sertifikat Hak Tanggungannya disebabkankan oleh perabahan kondisi ekonomi yang menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan dan menyebabkan debitur tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya, dapat pula disebabkan debitur peminjam dalam jangka waktu tersebut dinyatakan pailit oleh kreditur-kreditur lainnya.
Apabila kredit telah macet sebelum dikeluarkannya Hak Tanggungan akan merugikan bank, karena jaminan yang diharapkan bank sebagai upaya untuk melindungi kredit yang dikeluarkan bank belum mengikat, Hak Tanggungan belum ada, dengan demikian berpengaruh terhadap kedudukan bank dalam meminta pelunasan utang dari debitur, kedudukan bank tetap sebagai kreditur¬-kreditur konkuren yang dalam pelunasan piutangnya dibagi berimbang dengan kreditur-kreditur lainnya, walaupun bank sedang mengupayakan pengikatan jaminan dengan Hak Tanggungan, ketentuan adanya jangka waktu sebagaimana yang disebut dalam Undang-undang Hak Tanggungan kurang akomodatif bagi kepentingan kreditur.
Menurut hemat penulis untuk mengatasi hal tersebut dalam mengadakan perjanjian kredit antara bank dengan debitur peminjam hendaknya dalam klausula perjanjian kredit tersebut ditambahkan adanya suatu klausula tentang perikatan yang bersyarat, perikatan bersyarat adalah suatu perikatan apabila digantungkan pada suatu waktu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi.
Perikatan bersyarat ada dua macam yaitu baik yang menangguhkan lahirnya suatu perikatan maupun suatu yang membatalkan suatu perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Perikatan bersyarat yang dapat digunakan adalah perikatan bersyarat yang menangguhkan lahirnya suatu perikatan, sebagai contoh bahwa perjanjian kredit tersebut baru mengikat apabila Hak Tanggunganya telah mengikat para pihak dengan dimasukkannya klausula perikatan bersyarat tangguh dalam perjanjian pemberian kredit akan memberikan perlindungan kepada bank sebagai kreditur pemberi pinjaman kredit apabila dalam masa tenggang waktu pengurusan proses pembebanan Hak Tanggungan tersebut terjadi kredit macet.
Selain itu bank juga dapat menghindari kredit macet dalam proses pembebanan Hak Tanggungan dengan jalan bank terlebih dahulu hanya memberikan setengah bagian saja dari seluruh kredit yang diberikan setelah dibuatnya perjanjian kredit dan sisanya baru diberikan secara penuh apabila Hak Tanggungannya telah dikeluarkan dan mengikat para pihak.
Dalam praktek perbankan sendiri bank umumnya untuk menghindari macetnya kredit dalam proses pembebanan Hak Tanggungan dalam pelaksanaan pemberian kreditnya Bank sekaligus mengurus pendaftaran hak atas tanah debitur dan memasukkan biaya pendaftaran tanah itu dalam jumlah kredit yang diberikan oleh bank; dan kreditnya baru diberikan setelah pendaftaran hak tanggungan dan pendaftaran tanahnya ke Kantor Pertanahan.
Selain itu terhadap tanah yang belum bersertifikat (masih berbentuk petuk, girik dan lain-lain ) beberapa bank tidak menganggap sebagai agunan Kredit ini dimasukkan sebagai kredit tanpa agunan, bank hanya mendasarkan keyakinan bahwa debitor dapat dipercaya.

Berdasarkan hal tersebut penulis mengusulkan dalam suatu perjanjian pemberian kredit antara bank dengan nasabah peminjam kredit hendaknya memperhatikan faktor-faktor lain yang mungkin timbul dan dapat menyebabkan kredit macet misalnya debitur dinyatakan pailit oleh kreditur lain atau bank ragu akan keberadaan debitur salah satu cara yang dapat ditempuh oleh bank adalah dengan memasukkan klausula syarat tangguh dalam perjanjian pemberian kredit, klausula ini tentunya akan membantu bank untuk menghidari kredit macet, dan dapat mempengaruhi kegiatan usaha bank, dalam pemberian kreditnya bank terlebih dahulu mengurus pendaftaran tanah tersebut baru kredit akan diberikan pada saat hak tanggungan sudah mengikat para pihak.
4.3.1. Perjan.iian Jaminan Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit
4.4.1. Perjanjian jaminan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit
Pada dasarnya suatu pemberian kredit didasarkan pada adanya keyakinan atau kepercayaan kreditor terhadap debitor bahwa uang yang diberikan dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara debitor dan kreditor sehingga jaminan berupa Hak atas tanah yang menjadi jaminan tambahan bagi pengusaha kecil dapat dilakukan walaupun tanah tersebut belum terdaftar atau dibaliknamakan atas nama debitor karena , jaminan ini yang paling sesuai dengan keadaan pengusaha kecil yang pada umumnya tidak memiliki uang untuk mendaftarkan tanahnya serta untuk kredit dengan nilai yang relatif kecil.
Perjaniian Jaminan Hak Tangungan diadakan mengikuti perjanjian kredit yang dibuat antara Bank dengan pengusaha kecil. Sebagai suatu perjanjian accessoir, perjanjian Jaminan Hak Tanggungan memilik sifat sebagai berikut :
a. sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
b. keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok; sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.
Karena bersifat accessoir, maka sesuai Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 , dengan hapusnya utang yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka hapus pulalah perjanjian Jaminan Hak Tanggungan yang mengikutinya.
Mengenai tanah yang dijadikan objek Jaminan Hak Tanggungan H. Salim Hs. SH.MS menyatakan objek Jaminan Hak Tanggungan secara lebih luas yaitu terdapat dalam ketentuan dalam pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UU nomor 4 Tahun 1996 .
Jaminan Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal Buku Tanah Hak Tanggunga yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat – surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur ,buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya . Hal ini berarti Kantor Pertanahan dapat melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan Pendaftaran Jaminan Hak Tanggungan dan dapat melakukan pengecekan data yang dimuat dalam pernyataan pendaftaran Hak Tanggungan.
Sesuai dengan Pasal 11 UU Nomor 4 tahun 1996 - yang didaftarkan adalah ikatan pada Hak Tanggungan - adalah hak tanggungannya, yaitu dengan mengirimkan akta hak tanggungannya yang pada dasarnya adalah juga pendaftaran ikatan jaminannya juga.
Dengan dilakukannya pendaftaran atas Jaminan Hak Tanggungan, maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan ;Sertifikat Hak Tanggungan memuat Irah - Irah dengan kata - kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", hal mana berarti Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan suatu keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, lazimnva dikatakan memiliki titel eksekutorial.
Pendaftaran Hak Tanggungan tidak herhenti sampai didaftarkannya Hak Tanggungan untuk pertama kalinya, tetapi untuk segala perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan , maka Kreditor yang baru wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 16 ayat (2) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996).
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan , diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 , apakah hapusnya jaminan Hak Tanggungan itu menghapuskan juga utang yang dijamin.
Menurut H. Salim HS,S.H.,M.S. , walaupun Hak atas Tanah itu hapus namun pemberi Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Perjanjian Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 1 UUHT memiliki beberapa sifat sebagai hak kebendaan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 20 ayat (1) hak kebendaan ini membawa kelegaan tersendiri bagi kreditur karena hak kebendaan memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan hak perorangan. Pasal 7 UUHT yang menegaskan salah satu sifat dari Hak Kebendaan yaitu sifat mengikuti benda, ditangan siapapun benda tersebut berada (asas Droit de Suite) Pasal 7 ini lebih menegaskan bahwa Jaminan Hak Tanggungan memang telah diakui sebagai Hak Kebendaan yang tentu memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan Hak Perorangan.
Selanjutnya Pasal 6 , Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan secara tegas kedudukan Preferent dan Separatis dari kreditur pemegang Hak Tanggungan. Hal ini tentu saja sangat melegakan bagi para kreditur, karena kedudukannya menjadi sangat terjamin walaupun ada kepailitan dari pemberi Hak Tanggungan, benda yang dijaminkan tidak akan masuk dalam boedel pailit.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 memuat sifat kebendaan yang lainnya yaitu : “yang lebih tua dimenangkan terhadap yang kemudian."
Hal ini dapat dilihat dari Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan :
apabila suatu Objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari 1 Hak Tanggungan peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
Begitu juga Pasal 5 ayat (3) , peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan atau pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

4.4.2. Perjanjian Jaminan Dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Pemberian Kredit
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa selain lebih menjamin kepastian hukum dan membawa manfaat bagi pengusaha kecil, ternyata Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 juga mengandung banyak kelemahan yang menimbulkan berbagai masalah hukum, masalah-masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu.
2. Batas waktu berlakunya SKMHT dapat menyebabkan beberapa hal :
a. batal demi hukum SKMHT tersebut karena pendaftaran tanah-tanah yang belum bersertifikah menempuh proses yang cukup lama yang melampaui batas waktu yang telah ditentukan oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
b. Membahayakan kepentingan bank karena penetapan jangka waktu yang pendek tersebut tidak mustahil kredit sudah macet sekalipun kredit baru diberikan belum 3 (tiga) bulan, bukan karena analisis bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan tidak baik tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan ekonomi atau perubahan peraturan yan g terjadi, baik di Luar Negeri maupun di Dalam Negeri.
3. Dengan adanya kewajiban pembuatan akta Jaminan Hak Tanggungan dan SKMHT dengan akta notariil dan diikuti dcngan pendaftarannya, maka kewajiban tersebut pasti akan memerlukan biaya tambahan yang membebani debitur, yang dalam hal ini pada umumnya adalah pengusaha kecil, terlebih untuk nilai penjaminan yang sangat kecil. Mengenai biaya pembuatan Akta pemberian Hak Tanggungan telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan tertanggal 30 Mei 1996. Dalam praktek biaya yang dimuat dalam Peraturan pemerintah di atas tidak dapat dijalankan oleh Notaris, dengan alasan biaya operasional yang dikeluarkan tidak tertutupi dengan biaya yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tersebut, dengan perkataan lain, biaya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, tidak cukup rasional dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh Notaris.
Berbagai masalah yang muncul dari diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996, berdampak dalam pelaksanaan Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan dan SKMHT, terutama persoalan biaya untuk pembuatan akta notariil dan pendaftaran ke Kantor Pertanahan. Dampak tersebut dalam praktek menjadikan kewajiban pendaftaran tidak dilaksanakan oleh Pemegang Hak Tanggungan dengan alasan untuk menekan biaya. Ketiadaan pendaftaran ini tentu saja sangat berbahaya bagi kedudukan Pemegang Hak Tanggungan (kreditur) karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 , hak mendahulu seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 hanya diberikan kepada pihak yang terlebih dahulu mendaftarkannya.
4.5. Tanggung Jawab Notaris/PPAT Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat
Notaris dan Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) bertanggung jawab atas setiap akta yang telah dibuatnya dan konsekwensi yuridisnya berupa sanksi terhadap setiap pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan, karena itu dalam menjalankan tugas dan jabatanya harus selalu berdasarkan rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diharuskan dibuat dengan Akta Notariil ,sehingga Notaris dalam membuat Akta tersebut haruslah berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan sebelum membuat Akta, Notaris harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai hak dan kewajiban masing – masing fihak serta syarat – syarat yang harus dipenuhi guna pembuatan SKMHT terutama mengenai ketentuan tentang Bukti kepemilikan Hak atas tanah apakah sudah terdaftar di kantor pertanahan setempat yang dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat atas tanah ataukah masih dalam bentuk lain yang belum terdaftarkan seperti ; Letter C, Girik Petuk Pajak dan lain – lain. Apabila untuk Tanah – tanah yang belum terdaftar maka akan ditawarkan untuk menunda pembuatan SKMHT sampai dengan didaftarkannya Hak atas tanah tersebut hingga terbitnya sertifikat atau dengan cara lain yaitu dilakukan pembuatan SKMHT atas objek tanah tersebut dengan janji bahwa tanah tersebut akan didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat dan pada waktu pembebanan Hak Tanggungan telah memiliki bukti Pendaftarannya, sehingga bila semua syarat telah dipenuhi maka fihak Kantor Pertanahan akan mengeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan sekaligus dengan sertifikat Hak Atas Tanah yang telah dibebani dengan Hak Tanggungan.Kelalaian Notaris dalam hal ini akan , maka undang – undang akan memberikan sanksi administrative.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sutarno SH. MM. Hlm 195.:
Jika PPAT dalam membuat akta yang berkaitan dengan pembebanan Hak Tanggungan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan dan dlam tugas tidak tepat waktu atau mengulur-ulur waktu dan BPN dalam melakukan pencatatan Hak Tanggungan menunda-nunda maka undang-undang akan memberikan sanksi administrative kepada PPAT dan BPN. Dengan demikian masyarakat dapat melakukan pengawasan dan menuntut PPAT dan BPN jika dalam melakukan proses pembebanan Hak Tanggungan tidak menjalankan ketentuan undang-undang Hak Tanggungan.
Tanggung jawab Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ini dan sanksinya di syaratkan dalam Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 ditentukan mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terutama berkaitan dengan keterlambatan pengiriman berkas yang menyebabkan kerugian pada para pihak hal ini disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib mengirimkan berkas yang diperlukan untuk pendaftaran Hak Tanggungan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penanda tanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh karena itu pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bertanggung jawab atas seluruh akibat termasuk kerugian yang diderita oleh pihak-pihak yang bersangkutan yang disebabkan keterlambatan pengiriman berkas tersebut.
Ketentuan ini dapat dijadikan dasar bagi pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa dirugikan terhadap keterlambatan pengiriman berkas setelah penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) untuk menuntut kepada Pejabat pembuat akta Tanah (PPAT) atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pengiriman berkas.
Untuk menutut ganti kerugian tersebut para pihak dapat mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri berdasakan pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengenai perbuatan melawan hukum dan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 tahun 1996.
Disamping dapat digugat dengan gugatan perdata Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan dapat pula dikenakan sanksi berupa sanksi pidana hal ini dapat terjadi apabila Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sengaja tidak melakukan pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-undang dan berakibat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Sedangkan dalarn Undang-undang hak Tanggungan sendiri ketentuan mengenai sanksi terhadap Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan pelanggaran diatur dalam pasal 23 Undang-undang Hak Tanggungan dimana disebutkan bahwa
"Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dalam pasal l l ayat 1 pasal 13 ayat 2 dan pasal 15 ayat 1 Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanannya dikenai sanksi administrative berupa:
1 . Teguran l isan
2 . Teguran tertul is
3. Pemberhentian sementara dari jabatan Pemberhentian dari jabatan "

Pemberian sanksi sebagaimana disebutkan tersebut diberikan oleh pejabat yang berwenang, dan jenis sanksi yang dijatuhkan tersebut dilihat dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris/PPAT, sanksi-sanksi tersebut diatas merupakan sanksi Yang bersifat administratif.

4.6. Penyelesaian Permasalahan Dalam Pemberian Kredit Dengan Jaminan Tanah Yang Belum Bersertifikat

Permasalahan yang timbul sehubungan dengan konsep pembebanan hak atas tanah yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dapat diselesaikan dengan bijak apabila unsur kepercayaan yang terdapat dalam Pemberian Hak Tanggungan lebih ditonjolkan. Unsur kepercayaan ini menjadi perlu dan penting mengingat pemberian hak tanggungan tersebut dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat kepunyaan debitur yang belum dapat menjamin bahwa pemberian SKMHT tersebut dapat ditingkatkan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).karena secara yuridis hak milik debitor secara nyata memang belum beralih dari debitor kepada kreditor.
Terbentuknya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang jaminan Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor :4 Tahun 1996 disebabkan permasalahan yang timbul karena adanya kebutuhan hukum akan suatu lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak tanggungan, selain itu untuk mengakomodir kepentingan pengusaha kecil karena keterbatasan modal usaha sehingga tidak perlu melakukan pensertifikatan hak atas tanahnya sebagai jaminan dan cukup hanya menyerahkan girik atau petuk yang membuktikan hak miliknya secara kepercayaan saja.
Dalam praktek untuk jaminan tanah yang belum bersertifikat hanya merupakan jaminan tambahan sebagai bukti bagi kreditor bahwa debitor bersungguh-sungguh untuk dapat mengembalikan kreditnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan surat bukti tersebut dipegang oleh pemegang hak tanggungan. Dan selain itu juga untuk memberikan jaminan secara moral obligation calon debitur, Bank dapat mensyaratkan kepada debitor untuk menyerahkan asli dokumen yang penting (seperti ijazah terakhir, surat nikah, akte kelahiran/surat kenal lahir dan lain-lain).
Mengenai dilema yang bersangkutan dengan pemberian kredit kepada debitor , maka penyelesaian yang paling baik adalah dengan mengasuransikan objek jaminan, sehingga apabila terjadi sesuatu dengan Objek jaminan, maka uang hasil klaim asuransi diharapkan dapat menutupi utang debitor. Sepanjang mengenai eksekusi, maka dapat diatur dalam perjanjian pemberian SKMHT yang hanya dapat dilaksanakan apabila debitur cidera janji dan tidak bersedia menyerahkan benda untuk dieksekusi. Kuasa tersebut dapat berisi kewenangan dari kreditur untuk dapat mengambil baik dengan kekuasaan sendiri maupun dengan bantuan pihak yang berwajib.
Biaya pembuatan akta notariil dan biaya pendaftaran sepertinya menjadi batu sandungan yang cukup berarti bagi pengusaha kecil, apalagi bagi nilai penjaminan yang sangat kecil, di lain pihak pembuatan akta notariil dan pendaftaran adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi. Ada baiknya untuk menerapkan biaya dengan cara presentase dari nilai penjaminan, dan untuk nilai penjaminan yang relative besar diadakan batas maksimum biaya, dengan demikian untuk nilai penjaminan yang sangat, biaya yang dikeluarkan juga relative kecil.
Terlepas dari semua usaha-usaha penyelesaian di atas, yang terpenting adalah kesadaran sermua pihak yang tcrsangkut dengan pemberian kredit bagi pengusaha kecil, untuk rnemberdayakan pengusaha kecil dengan memberikan kelonggaran dan kemudahan bagi proses pemberian dana bagi kelangsungan usahanya.
`4.7. Bentuk Penyelesaian Sengketa yang Dapat Ditempuh Oleh Para Pihak Dalam Suatu Perjanjian Kredit yang Dibebankan dengan Hak Tanggungan
Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya akan menghadapi kredit, yang bermasalah walaupun suatu bank dalam memberikan kreditnya sudah berdasarkan pada prinsip kehati-hatian, karenanya bank harus dapat menekan seminimal mungkin untuk menghindari kredit macet.
Bank yang menghadapi persoalan kredit bermasalah mempengaruhi tingkat kesehatannya dan akan mempengaruhi kelangsungan usaha bank, karena itu bank harus berusaha untuk menghindari kredit macet. Kredit macet yang terjadi disebabkan berbagai hal secara garis besarnva dapat dikelompokkan sebagai berikut :
l. Faktor interen nasabah
2. Faktor ekteren nasabah
Kredit yang telah diberikan dan mengalami kemacetan akan berpengaruh pada usaha bank, untuk mengamankan kredit yang macet tersebut bank dapat melakukan beberapa tindakan menurut Sutarno .SH.MM halam.265. yaitu ;
1.Penyelamatan Kredit
Penyelamatan Kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara kreditor dan debitor dengan memperingan syarat – syarat pengembalian kredit sehingga dengan mem;peringan syarat pengembalian kredit tersebut diharapkan debitor memiliki kemampuan kembali untuk menyelesaikan kredit itu.
Jadi tahap penyelamatan kredit ini belum memanfaatkan lembaga hukum karena debitor masih koperatif dan dari prospek usaha masih feasible.Penyelesaian kredit melalui tahap penyelamatan kredit ini dinamakan penyelesaian melalui restrukturisasi kredit.Langkah penyelesaian kredit melalui retstrukturisasi kredit ini diperlukan syarat paling utama yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan kooperatif dari debitou serta bersedia mengikuti syarat – syarat yang ditentukan Bank karena dalam penyelesaian kredit melalui restrukturisasi lebih banyak negosiasi dan solusi yang ditawarkan bank untuk menentukan syarat dan ketentuan restrukturisasi.
Bentuk Penyelamatan Kredit :
1.Penurunan Suku Bunga Kredit
2. Pengurangan Tunggakan Bunga Kredit
3. Pengurangan Tunggakan Pokok Kredit
4. Perpanjangan Jangka waktu Kredit
5..Penambahan Fasilitas Kredit
6.Pengambil alihan Agunan / asset Debitor
7.Jaminan kredit dibeli oleh Bank
8. Konversi kredit menjadi Modal Sementra dan Pemilikan Saham
9. Alih Manajemen.
10.Pengambilalihan Pengelolaan Proyek.
11. Novasi (pembaruan Hutang)
12. Subrogasi
13. Cessie
14.Debitur menjual Sendiri Barang Jaminan Dibawah Tangan Berdasarkan Surat Kuasa.
16. Penghapusan Piutang
17. Cegah Tangkal (Cekal) Debitor macet.


2.Penyelesaian kredit
Penyelesaian kredit adalah langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum seperti : Melalui Dirjen Piutang dan Lelang Negara, Melalui badan peradilan, Melalui Badan lainnya. (APS, BANI Dan lain – lain) dikarenakan langkah penyelamatan sudah tidak dimungkinkan kembali.
Tujuan penyelesaian kredit melalui lembaga hukum ini adalah untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan.
Bentuk Penyelamatan Kredit melalui Lembaga – Lermbaga Hukum :
1. Somasi
2. Gugatan Kepada Debitor melalui Pengadilan Negeri.
3. Eksekusi Putusan Pengadilan ( Uitvoerbaar Bij Boorraad)
4. Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang.
5. Eksekusi Hak Tanggungan / Hipotik.
6. Parate Eksekusi. Pelaksanaan atas hak eksekusi dengan Parate Eksekusi oleh penerima Hak Tanggungan mengandung dua (2) persyaratan yakni :
a. debitur cedera janji dan;
b. telah ada Sertifikat Jaminan Hak Tanggungan yang mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
7. Eksekusi terhadap Penjamin (Borgtocht)
8. Paksa Badan (Gijzelling)
9. Kepailitan melalui Pengadilan Niaga.
10. Eksekusi melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN/Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)
Penyelesaian sengketa melalui badan urusan piutang Negara pada umumnya dilakukan oleh bank-bank pemerintah, karena kredit yang diberikan tersebut dikategorikan dalam piutang Negara, karena bank milik pemerintah merupakan bank yang secara langsung dikuasai oleh Negara.
Keadaan yang dipaparkan di atas menimbulkan suatu ketidak pastian hukum, jika debitor wan prestasi (cidera janji), pihak Bank sebagai kreditor atau pemilik dana tidak mempunyai kekuasaan sebagai kreditor preference tetapi dipersamakan dengan kreditor lainnya, sehingga Bank tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate executi) karena SKMHT tidak memberikan kekuasaan untuk itu, walaupun nilainya kecil, tetapi dengan jumlah nasabah yang banyak, potensi kredit macet juga akan menjadi cukup besar dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal Bank sendiri harus menjaga solvabilitas dan akuntanbilitasnya agar tetap terjaga kredibilitasnya dan kesehatan bank tersebut.
Dengan memperhatikan paparan di atas menurut penulis sekalipun kelonggaran dalam hal jaminan dapat diberikan kepada kredit tertentu untuk menunjang pembangunan, prinsip kehati-hatian Bank harus tetap dipertahankan untuk dapat membentuk Bank yang sehat, dan jika terjadi kredit macet pada sektor kredit dikarenakan tidak berlakunya parate executie dan dengan memperhatikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Bank dalam menghadapi kredit macet ini penulis berpendapat jika ternyata debitor melakukan wan prestasi terhadap perjanjian utang-utang yang dibuat sehingga terjadi kredit macet dapat dilakukan dengan membuat pembaharuan utang (novasi) yaitu novasi objektif dengan debitor membuat suatu perikatan hutang baru bagi kreditor untuk menggantikan perikatan yang lama yang dihapuskan karenanya. Hal ini dengan pertimbangan :
1. Debitor dan kreditornya sama
2. Prospek usaha debitor masih memungkinkan untuk berkembang
3. Prosedur hukumnya tidak memerlukan waktu yang lama.
Hal ini dilakukan agar adanya kesempatan bagi debitor untuk menata kembali usahanya yang masih mempunyai prospek untuk ditingkatkan atau dikembangkan dan proses perubahan hubungan hukumnya walaupun berbeda bentuknya ataupun sifatnya masih tetap sama memerlukan waktu relative tidak terlalu lama untuk penyelesaiannya.
Sesuai dengan pendapat Suharnoko, S.H., MLI. Dan Endah Hartati, S.H., M.H., (Doktrin, subrogasi, novasi, dan cessie, kencana prenada media group, Jakarta, 2006, hlm. 57) mengemukakan; Dalam novasi atau pembaruan utang perikatan yang lama hapus, maka pokok perikatan yang baru dapat berbeda dengan perikatan yang lama misal hubungan hukum antara penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli dirubah menjadi perjanjian pinjam meminjam uang, artinya disini pembayaran harga yang belum dibayar oleh pembeli diakui sebagai utang dalam perjanjian pinjam meminjam uang. Namun ada kemungkinan sifat hubungan hukum antara perikatan lama yang hapus dengan perikatan baru adalah sama, missal perjanjian kredit dihapusdkan dengan perjanjian restrukturisasi utang
4.8. Penyelesaian Kredit Macet Terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Berdasarkan SKMHT yang Dijamin Dengan Tanah yang Belum Bersertifikat Dalam Praktek Perbankan

Bank dalam mengatasi kredit macet ini secara tidak langsung sudah melakukan tindakan-tindakan pengawasan baik dari analisis keuangan maupun dari pelaporan yang disampaikan oleh Debitor , sehingga u bank dalam rangka menyelamatkan kredit melakukan tindakan-tindakan baik itu secara preventif maupun represif untuk mengamankan kredit dengan jalan mengadakan tindakan penyuluhan, pembinaan, mengadakan penjadwalan kembali utang, pensyaratan kembali, serta melakukan penataan kembaili utang-utang yang telah diberikan, tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai suatu usaha-usaha kompromi dari bank- untuk menghindari akan timbulnya kredit macet.
Tindakan-tindakan penyelamatan kredit merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak bank semata, pada umumnya nasabah peminjam kredit hanya menunggu tindakan-tindakan bank, sehingga menyebabkan kurangnya kerja sama antara bank dan nasabah peminjam kredit, untuk menyelesaikan masalah kredit macet.
Sifat menunggu nasabah menyebabkan penangan kredit bermaslah kurang cepat ditangani, akan tetapi Bank tetap akan melakukan kompromi dalam penyelesian kredit bermasalah ini dengan menciptakan agar antara nasabah dan bank mempunyai bentuk penyelesaian melalui win-win solution sehingga kedudukan nasabah disini tidak lagi bersifat menunggu adanya tindakan dari bank tetapi dapat juga melakukan tindakan-tindakan untuk penyelamatan kreditnya.
Suatu penyelesaian kredit bermasalah didasarkan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaikan permasalahan mereka diluar jalur pengadilan, diperlukan adanya peran aktif antara kedua belah pihak sehingga terbuka peluang untuk menyelesaikan masalah secara aman tanpa ada yang merasa kalah atau menang tetapi menimbulkan rasa keadilan diantara pihak-pihak.
Pihak Kreditor(Bank X) dalam melaksanakan penyelesaian kredit bermasalah:
1.Mengkelompokkan Debitor bermasalah kedalam Debitor Pengawasan Khusus (Ddebitur Watch List) adalah Debitor dengan penggolongan kwalitas kredit dalam perhatian khusus (kolektibilitas 2) yang dikelola unit bisnis.
2. Terhadap Debitor yang masih mempunyai prospek didalam usahanya, dengan tujuan untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya kerugian bagi Bank, menyelamatkan kredit yang ada agar menjadi lancar, serta usaha – usaha lainnya yang ditujukan untuk memperbaiki kwalitas usaha Debitor,
3. Untuk Debitor dalam Kategori Non Performing Loan (NPL) dititipkan kepada Consumer Collection Group untuk ditagihkan. Namun pengelolaan portfolionya tetap di Business Unit
Prosedur titip tagih sebagai berikut :
a. Pada saat debitur dikelompokkan dalam kolektibilitas 2c, pihak Kreditur telah melakukan proses penyelamatan kredit seperti ;
- Melakukan kunjungan ke nasabah,
- Mengirimkan Surat Peringatan Pertama sampai dengan ketiga.
b. Membuat Nota kepada Consumer Collection Group perihal permintaan titip tagih Rekening-Rekening Debitur yang dikategorikan kolektibilitas 3, dilengkapi dengan bukti penyelamatan kredit yang telah diupayakan.
c. Hasil penagihan yang dikelola oleh Consumer Collection Group diserahkan kepada bisnis Unit untuk dibukukan pada masing-masing rekening debitur.
Pihak Kreditor(Bank Y) dalam melaksanakan penyelesaian kredit bermasalah.
Bank Y untuk mengeliminir kemungkinan SKMHT tersebut tidak dapat ditingkatkan menjadi APHT menambahkan kata – kata pada halaman 5 SKMHT “ Dengan bukti tanah - tanah ini sedang dalam proses Balik Nama /Sertifikasi dengan Nomor berapapun, Atas Nama siapapun.
Di dalam Praktek Perbankan untuk skala kredit kecil, ongkos biaya yang dibebankan ke debitor untuk menanggung biaya pemasangan Hak Tanggungan sampai diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan menjadi terlampau mahal, sehingga pihak kreditor/Bank mengambil resiko hanya menggunakan SKMHT saja tanpa dilanjutkan dengan tujuan untuk meringankan beban para debitor-debitor skala kecil tersebut begitu juga untuk SKMHT untuk kredit-kredit tertentu. Jadi pertimbangan tidak dilanjutkan menjadi APHT karena skala kreditnya yang kecil dan menurut kreditor juga belum perlu kredit tersebut dilanjutkan sampai ke tingkat APHT.
Bila terjadi wan prestasi dari debitor , pihak kreditor tidak serta merta langsung mengeksekusi benda jaminan biasanya dilakukan terlebih dahulu pendekatan-pendekatan yang bersifat negosiasi ; misalnya dengan melakukan restrukturisasi hutang, atau melakukan novasi, atau kreditor memberikan peluang kepada debitor untuk menjual benda jaminan secara di bawah tangan, selanjutnya hasil penjualannya dipergunakan untuk melunasi hutang debitor.


BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian kepustakaan ditarik kesimpulan sebagai herikut :
1. Terjadinya kredit macet, dalam masa pembebanan Hka tangungan akan membahayakan kedudukan Kreditur karena Hak Tangunganya sendiri belum keluar atau belum ada sedangkan kredit sudah mengalami kemacetan, dan apabila hal ini terjadi tentunya kedudukan Bank sebagai kreditur tetap sebagai Kreditur Konkuren dan bukan sebagai Kredit Preferences.
2. Tanggung jawab Notaris/PPAT bertanggung jawap penuh terhadap akta-akta yang dibuatnya sehingga apabila Notaris/PPAT melakukan kesalahan dalam proses Pembebanan Hak Tangungan tersebut akan dikenakan sanksi baik itu dsanksi administrative, sanksi perdata maupun pidana.
Bahwasanya pemberian Kredit dengan pembebanan berdasarkan SKMHT merupakan kredit yang diperuntukan pengusaha kecil .....................................................................................................................
l. Dengan diundangkannya UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka kcdudukan Lembaga Jaminan Fidusia yang selama ini hanya diatur dalam yurisprudensi menjadi lebih menjamin kepastian hukum karena telah diatur dalam hukum positif berupa Undang-undang. Diaturnya Jaminan Fidusia dalam hukum positif Indonesia menjadikan keragu¬-raguan mengenai sifat hak kebendaan dari Jaminan Fidusia menjadi sirna. Adanya UU Fidusia yang telah diatur dalam hukum positif tentu memberi jaminan kepastian hukum bagi debitur dan kreditur yang menggunakan lembaga jaminan ini.
2. UU Fidusia belum dapat berfungsi optimal bagi pcngusaha kecil, karena manfaat yang dapat dirasakan oleh pengusaha kecil minimseperti dalam hal penguasaan benda tetap berada pada debitur sehingga pengusaha kecil tetap dapat mempergunakan benda yang dijamninkan untuk kelangsungan usahanya lalu diakuinya sifat perjanjian Jaminan Fidusia yang bersifat mengikuti perjanjian kredit menjadikan hak kepemilikan secara otomatis kembali kepada debitur dengan hapusnya utang yang diperjanjikan dengan perjanjian kredit. Kewajiban membuat akta notariil untuk akta jamiman Fidusia juga akan membawa pengusaha kecil pada kedudukan yang lebih terjamin, dan terakhir manfaat yang dapat dirasakan adalah objek jaminan yang ditawarkan oleh UU Fidusia juga sangat beragam menjadikan pengusaha kecil lebih leluasa menjaminkan benda miliknya. Dilain pihak UU Fidusia mewajibkan, adanya biaya yang tentu saja memberatkan bagi pengusaha kecil dengan nilai penjaminan yang sangat kecil, dan terlihat UU Fidusia lebih banyak memberi perlindungan pada kreditur.
3. Dengan telah diundangkannya UU Fidusia, kreditur tidak perlu lagi ragu untuk mcmberikan kredit bagi pengusaha kecil, oleh karena pengusaha kecil tidak memiliki benda yang bernilai seperti tanah dan bangunan untuk dijaminkan. Menggunakan lembaga Jaminan Fidusia, pengusaha kecil dapat menjaminkan peralatan kerjanya dan tetap dapat menguasainya untuk dipergunakan, di lain piliak kreditur merasa aman terlindungi karena Pemberian Jaminan Fidusia telah diatur dalam UU Fidusia sehingga lembaga jaminan Fidusia diakui memiliki Sifat sebagai hak kebendaan, yang dalam banyak hal memiliki banyak keunggulan dibandlngkan dengan hak perorangan.
Kesimpulan
1. Bahwa kekuatan pembuktian akta Haka Tanggungan untuk yanah yang telah bersertifikat dan sertifikat Hak tangungan adalah merupakan bukti yang kuat telah adanya perjanjian penjaminan, jaminan mana menyebabkan kreditur mempunyai hak untuk lebih diutamakan terhadap kreditur yang lain (Preferences). Sedangkan untuk tanha yang belum bersertifikat maka SKMHT tidak dapat dijadikan sebagai bukti yang menyatakan bahwa kreditur pemegang SKMHT mempunai kedudukan yang lebih diutamakan dibanding kreditur lainnya. Hal ini disebabkan belum adanya APHT yang diikuti dengan Pendaftarannya diKantor Pertanahan setempat yang nantinya akan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan bukti adanya pengikatan jaminan terhadap tanah termaksud.
2. Bahwa dengan adanya SKMHT membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian kredit dengan menggunakan jaminan, namun kedudukan kreditur pemegang SKMHT atas tanah yang belum bersertifikat adalah merupakan kreditur konkuren dan bukan kreditur preferences sebagaimana dikehendaki oleh UUHT. Hal iniolah yang membedakan fungsi berlakunya Hak tanggungan pada Tanah yang terlah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat. Cara eksekusi apabila terjadi kredit macet (Debitur wanprestasi) bagi pemegang SKMHT tanah ang belum bersertifikat, maka kreditur harus meminta kepada Pengadilan negeri untuk dilakukan lelang eksekusi terhadap tanah termaksud.
1 Mengenai perjanjian kredit diatur dalam UU No. 7 thn 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 thn 1998 Menurut UU P:erbankan tanah yang belum bersertifikat tidak dapat dijadikan objek jaminan, tetapi dalam praktik hal tersebut terjadi.
2. Penyelesaian kredit macet dengan jaminan tanah yang bersertifikat menurut UUHT dalam praktek tidak sesuai dengan ketentuan UUHT karena menurut UUHT harus melalui KP2LN sedanhgkan dalam praktek dilakukan eksekusi.
5.2. Saran
Setelah melakukan penelitian dan dari permasalahan yang muncul dalam praktek maka diusulkan beberapa saran yang mudah-mudahan dapat diharapkan menjadi bahan pemikiran semua pihak :
1. Ketentuan mengenai Jangka waktu dalam proses pembebanan Hak Tanggungan dalam prakteknya dianggap terlalu singkat karena itu hendaknya jangka waktu tersebut diperpanjang untuk memberikan kesempatan para pihak untuk mengurus kelengkapan persyaratan sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam UUHT.
Atau dapat juga sebelum pembuatan SKMHT sebaiknya kewenangan mengenai Hak Atas Tanah terlebih dahulu sudah dalam kewenangan pemberi Hak Tanggungan sehingga dalam pembuatan SKMHT tidak perlu lagi Balik Nama.
Adanya jangka waktu dalam proses pembebanan Hak Tanggungan dapat merugikan kepentingam Kreditur yaitu pihak Bank karena dalam jangka waktu dari pemberian SKMHT sampai pada pendaftaran APHT dapat saja terjadi kredit macet, untuk menghindari kemungkinan tersebut Bank dalam melakukan perjanjian kredit dengan nasabahnya hendaknya Bank memasukkan klausula dengan syrat tanguh sehingga memberikan perlindungan terhadap Bank tersebut dimana dengan memasukan syarat tangguh yang mengakibatkan perjanjian kredit tersebut baru mengikat apabila Hak tanggungan lahir, atau dapat juga Bank memberikan sebagian dahulu dari jumlah keseluruhan pinjaman dan sisanya baru diberikan sepenuhnya pada saat Hak Tanggungan telah keluar dan mengikat.
2. Sedangkan tanggung jawab Notaris /PPAT terhadap SKMHT dan APHT mempunyai tanggun g jawab yang penuh terhadap setiap kerugian yang timbul selama proses pembebanan Hak Tanggungan, karena itu hendaknya Notaris/PPAT memperhatikan kelengkapan berkas dan jangka waktu yang telah ditentukan dalam UUHT.
3. Sedangkan bentuk penyelesaian sengketa dalam hal terjadinya kredit macet pada umumnya Bank mempergunakan jalur penyelesaian melalui Pengadilan tetapi tidak menutup kemungkinan dapat juga melalui jalur luar pengadilan.
Bagi pelaku bisnis penyelesaian sengketa diluar pengadilan cocok dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan karena itu sebaiknya dalam penyelesaian sengketa kredit para pihak lebih baik memilih jalur diluar pengadilan dengan jalan menggunakan alternatif dan penyelesaian sengketa karena lebih akomodatif bagi pelaku usaha.
1. Bahwa agar masyarakat ddunia usaha dapat kembali melakukan usahanya dengan adanya bantuan kredit dari bank maka pemerintah kiranya mengadakan program Nasional (Prona) untuk pembuatan sertifikat secara merata disetiap daerah diseluruh Indonesia sehingga masyarakat dapat merasakan kemudahan dan keringanan dalam mensertifikatkan tanahnya.
2. Bahwa proses pendaftaran Hak Atas Tanah, Balik Nama, Permohonan Hak, Penggabungan/Pemecahan, yang dilakukan di Kantor- Kantor Pertanahan setempat harus dapat dilaksanakan dengan cepat, sehinga apabila tanah tersebut akan dibebani Hak Tanggungan dapat segera dilaksanakan.
Bahwa Pemerintah harusnya konsisten dalam pengaturan tanah-tanah yang belum bersertifikat untuk dapatnya dijadikan jaminan, sehingga nantinya kan tercapailah suatu kesatuan hukum tentang peraturan tersebut.
Sehubungan dengan petrjanjian dfengan jamnan tanah yang belum bersertifikat maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Penyelesaian kredit macet dalam praktek dengan jaminan yanah yang belaum bewrsertifikat tidak sesuai dengan UUHT hal tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap UUHT sehingga sebaiknya dilakukan penertiban.
2. Karena dalam praktek terjadi penyimpangan tanah yang belaum bersetifikat dijadikan jaminan yang dilarang oleh UU perbankan maka sebaiknya hal tiu ditertibkan untuk kepastian hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS KOMENTAR ANDA