Kamis, 19 Maret 2009

Hak Kreditor Atas Eksekusi HT

BAB. III
HAK KREDITOR SELAKU PEMEGANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGUNGAN (SKMHT)DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI TERHADAP TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT

3.1. Kedudukan Kreditur Selaku Pemegang Hak Tanggungan

Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap kreditur, yaitu :
1. Memberikan kedudukan yang utama kepada pemegangnya
Pengertian kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lain yaitu bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya. Kedudukan diutamakan tersebut sudah tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang negara menurut ketentuan – ketentuan hukum yang berlaku
Dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ditentukan sebagai berikut :
Apabila debitur cidera janji maka berdasarkan Pasal tersebut :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek
HT sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6, atau
b. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
Objek HT dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peratutan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang HT dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya.Sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan krefitur-kreditur lainnya tetapi piutang negara lebih utama dari kreditur pemegang hak tanggungan.
2. HT selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada.
Pasal 7 UUHT menetapkan bahwa HT tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objeknya berada, dengan demikian HT tidak akan berakhir sekalipun objek HT itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga.
3. Kedudukan Pemegang HT terhadap Harta Kepailitan.
Menurut Pasal 21 UUHT, apabila pemberi HT dinyatakan pailit, pemegang HT tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT. Dengan demikian objek HT tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lain dari pemberi HT. Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferent dari pemegang HT terhadap objek HT terhadap kreditur-kreditur lainnya.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Menurut Pasal 6 UUHT, apabila debitur cidera janji, pemegang HT pertama mempunyai hak untuk menjual objek HT atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal 6 UUHT itu meberikan hak bagi pemegang HT untuk melakukan parate eksekusi, yang artinya pemegang HT tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi HT bahkan tidak pelu juga meminta penetapan dari Pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas HT yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal debitur cidera janji. Pemegang HT dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek HT yang bersangkutan.
Pasal 1132 menyatakan bahwa kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan debitor dalam pelunasan utang debitor kecuali kreditor tersebut memiliki alasan yang sah untuk didahulukan menurut ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 1133 KUHPerdata, dinyatakan bahwa:
”Hak untuk didahulukan diantara para kreditor timbul karena hak istimewa, gadai dan hipotik.”
Setelah diundangkannya UUHT dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka selain kreditor yang memiliki tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133 KUHPerdata tersebut di atas, juga kreditor-kreditor yang memiliki tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia, memiliki pula kedudukan yang harus didahulukan (kreditor preferen) terhadap kreditor-kreditor konkuren (selain kreditor preferen).
Kreditor pemegang hak tanggungan sebagai kreditor preferen, berhak mendapat pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya dari debitur dibandingkan dengan kreditor lain yang tidak memegang hak untuk didahulukan. Hal ini sebagai jaminan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam UUHT.
Proses pemberian hak tanggungan ini melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang piutang.
2. Tahap pendaftarannya oleh kantor pertanahan, yang merupakan saat lahirnya hak tanggungan.
Perjanjian utang piutang yang dibuat oleh debitor dan kreditor tersebut berlaku ketentuan – ketentuan perundang – undang yang berlaku baik yang bersifat imperatif maupun fakultatif, begitu juga untuk pebuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan , akan tetapi untuk Aktanya baik APHT maupun SKMHT harus dibuat dengan Akta otentik dengan akta notaris atau akta PPAT
Dalam pemberian hak tanggungan ini, maka debitor harus hadir dihadapan PPAT, yang jika tidak dapat hadir, debitor wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan secara otentik di hadapan Notaris atau PPAT yang berwenang. Pada saat pembuatan SKMHT dan APHT ini, harus sudah ada keyakinan kepada Notaris atau PPAT yang bersangkutan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang berhak atau yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian hak tanggungan didaftarkan.
Hak tanggungan tidak serta merta lahir pada waktu pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan, tetapi lahir pada saat hak tanggungan tersebut didaftarkan dan dibukukan dalam Buku Tanah di Kantor Pertanahan.
Hal ini menurut Florianus SP Sangsun penting karena :
”Pendaftaran Tanah berguna untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas bidang tanah, memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan – ketentuan yang berlaku.”
Oleh karenanya kepastian mengenai saat didaftarkannya hak tanggungan , menjadi sangat penting bagi kreditor. Saat tersebut tidak saja menentukan kedudukannya sebagai kreditor preperen tetapi juga menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga memegang hak tanggungan. Untuk itu, UUHT menentukan tanggal hari ketujuh setelah penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara lengkap oleh Kantor Pertanahan sebagai hari pendaftaran untuk menjamin kepastian hukum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan :
” Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak tertentu yang membebaninya”.

Sebagai bagian dari proses pendaftaran, sertipikat sebagai alat pembuktian hak atas tanah terkuatpun diterbitkan ; Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah Pasal 1 angka 20 menyatakan :
” Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.
Florianus SP Sangsun menyatakan :
"Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Menurut Adrian Sutedi :
” Pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak didalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak.”
Selanjutnya Adrian Sutedi menyatakan :
” Dalam sistem pendaftaran tanah yang negatif, yang memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu gugat, maka alat pembuktian yang utama di dalam persidangan di Pengadilan ialah Akta Peraturan Pemerintah dan Sertipikat ”
Jelaslah bahwa hak tanggungan itu baru mempunyai kekuatan yang mengikat dan menempatkan kreditornya sebagai kreditor yang didahulukan dari kreditor lainnya pada saat telah didaftarkan dan dibukukan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Dan apabila debitor cidera janji, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum.



3.2. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Hak Kreditor Dengan Dikeluarkannya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Memperhatikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam membangun perekonomian dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, pemerintah merasa perlu ikut serta menentukan kebijakan dalam memecahkan masalah menyangkut kebutuhan dana terutama untuk usaha kecil dengan memberikan kelonggaran terhadap kredit-kredit tertentu, yaitu dengan hanya membuat SKMHT tanpa perlu meningkatkannya menjadi APHT, yang masa berlakunya adalah sama dengan masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Pasal 15 UUHT menyatakan bahwa:
“(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
(4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak ber-laku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.”

Memperhatikan ketentuan Pasal di atas, dapat dilihat bahwa SKMHT adalah akta formil yang betuknya ditentukan dan hanya diperuntukkan khusus sebatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan semata-mata, yang mempunyai masa berlaku 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) bulan, yang jika tidak ditingkatkan menjadi APHT akan batal demi hukum.
Penjelasan Pasal 15 ayat (5) UUHT tersebut di atas menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi lemah, untuk pemberian kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah seperti kredit program, kredit kecil, kredit kepemilikan rumah dan kredit lain yang sejenis, batas waktu berlakunya SKMHT sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu dilakukan oleh Menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait.
Dalam hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan Permenag/Ka BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu yang Pasal 1 nya menyatakan bahwa:
“Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut di bawah ini berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan:
1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa;
b. Kredit Usaha Tani;
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya;
2. Kredit Kepemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan rumah, yaitu:
a. Kredit yang digunakan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi);
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (limapuluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai pembangunannya;
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana yang dimaksud huruf a dan b.
3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain:
a. Kredit Umum Pedesaan (BRI);
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah)”.

Pemberlakukan SKMHT selama berlakunya perjanjian pokok, memberi celah untuk tanah yang tidak mempunyai sertipikat, karena SKMHT tersebut tidak perlu diberikan hak tanggungan dan tidak perlu didaftarkan ke Kantor Pertanahan (Pasal 13 UUHT) mengingat masa pemberlakuannya tersebut. Dengan belum bersertipikatnya tanah tersebut, berarti tanah dimaksud belum terdaftar di Kantor Pertanahan, sehingga kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut diragukan.
Memperhatikan pula apa yang dinyatakan Surat Sekretaris Menteri Negara Agraria Nomor 130-016/Sesmen/96 tanggal 29 Mei 1996, perihal penjelasan mengenai UUHT dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 dan 4, dikatakan bahwa:
”Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan, bahkan dalam penjelasan pasal pasal tersebut disebutkan sebagai contoh dilarangnya dimuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek HT ataupun memperpanjang hak atas tanah yang bersangkutan.
Kekhawatiran di atas tidak perlu ada, karena kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa dalam SKMHT untuk memuat janji-janji tersebut dalam APHT bukanlah kuasa untuk melakukan perbuatan lain daripada membebankan HT yang dilarang oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT. Pemuatan janji-janji itu adalah bagian dari perbuatan membebankan HT khususnya dalam pembuatan APHT. Apabila dikehendaki oleh pemberi kuasa bahwa di dalam APHT akan dimuat janji-janji tertentu, maka penerima kuasa memerlukan kuasa untuk mencantumkan janji-janji yang disepakati itu di dalam APHT...”

Jelaslah bahwa kekuatan SKMHT hanyalah sebagai lembaga kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan pemberian hak tanggungan terhadap objek hak tanggungan dikarenakan pemberi kuasa sebagai orang yang berwenang tidak dapat hadir sendiri untuk melakukan hal tersebut, tidak untuk melakukan perbuatan hukum selain daripada itu.
Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa:
”Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
3.3. Pelaksanaan SKMHT
3.3.1. Hal-Hak yang dapat ditimbulkan setelah dikeluarkannya SKMHT
Dalam hubungan utang piutang antara debitur dan kreditur sering disertai dengan jaminan. Jaminan itu dapat berupa benda dan orang. Disini kan dibicarakan hubungna hutang-piutang dengan jaminan benda. Dengan adanya benda jaminan ini kreditur memmpunyai hak atas benda jamina untuk pelunasan hutang piutang nya apanbila debitur tidak membayar hutangnya.g
Benda jaminan iti dapat berupa benda bergerak atau tidak bergerak apabila jaminan itu benda tidak bergerak yang berupa tanah maka hak atas benda jaminan tersebut dapat dibebani dengan Hak Tangungan.
SKMHT tidak bisa dilepaskan dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang-piutang yang diserrtai penjaminan, diamana dengan dikeluarkannya SKMHT sebagai perjanjian formal dari perjanjian penjaminan yang nantinya untuk membebankan Hak Tangungan sebagai tindaka riilnya. Dengan demikian perjanjian jamina bersifat assesoir terhadap perjanjian pokoknya, yaitu apabila perjanjian pokoknya telah dipenuhi maka dengan sendirinya perjanjian penjaminan akan hilang.
Mengingat benda jaminan dari Hak Tanggungan adalah benda tak bergerak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT yang menentukan bahwa :
Hak tanggungan atas tana berserta nbenda –benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sbagaimana dimaksud dlam UU no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.
Berdasar ketentuan di atas dapat diuraikan adanya unsur-unsur Hak Tanggungan sebagai berikut :
1. Hak atas benda tak bergerak yaitu tanah,
2. Benda tak bergerak itu untuk jaminan hutang,
3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu daripada kreditur-kreditur yang lain.( droit de preference )
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa SKMHT merupakan salah satu rangkaian (proses) pembebanan hak tangungan. Unsur-unsur hak tanggungan diatas akan menjadi hak pemegang hak tanggungan setelah dibuatnya APHT. Dengan demikian dikeluarkannya SKMHT tersebut pihak kreditur belum memiliki hak kebendaan terhadap obyek hak tanggungan dengan kata lain hak kebendaan tersebut akan ada setelah ditandatanganinya APHT.
Kuasa untuk membebankan HT ini meliputi kuasa untuk menghadap dimana perlu, memberikan keterangan-keterangan serta memperlihatkan dan menyerahkan surat-surat yang diminta, membuat / minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta surat-surat lain yang diperlukan, memilih domisili, memberi pernyataan bahwa obyek HT betul milik pemberi kuasa tidak tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan dari beban apapun, mendaftarkan HT tersebut, memberikan dan menyetujui syarat serta janji-janji yang disetujui oleh pemberi kuasa dalam APHT tersebut.
3.3.2. Syarat-Syarat SKMHT
Sahnya suatu SKMHT selain harus dibuat dengan Akta Notaris atau dengan Akta PPAt, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus juga dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan HT,
2. Tidak memuat kuasa subsitusi,
3. Mencantumkan secara jelasa obyek HT, jumlah Hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debiturnya apabila debitur bukan pemberi HT.
Dalam ketentuan di atas, Sutan Remy Syahdeni menerangkan yang dimaksud dengan ” tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain ” adalah misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek HT atau memperpanjang hak atas tanah (1996 ; 77). Dengan demikian, ketentuan tersebut menuntut SKMHT harus dibuat secara khusus yaitu hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan HT saja sehingga terpisah dari kata-akta lain.
Pada prinsipnya semua kuasa subsitusi dapat diterapkan terhadap semua pemberian kuasa kalupun ada larangan itu merupakan perkecualian. Letak perkecualiannya yaitu karena undang- undang menentukan demikian. Menurut Ign. Ridwan Widyadharma, SKMT adalah surat kuasa khusus yang tidak dapat dicabut kembali serta tidak ada hak untuk mensubsitusikan serta pula memiliki bentuk dan ciri otentik. (1996 : 21)
Khusus yang dimaksud di atas adalah surat kuasa tersebut hanya untuk membebankan Hak Tangungan untuk kuasa yang lain dan tida berakhir karena alasan dicabut kembali.
Dalam SKMHT harus secara tegas mencantumkan objek Hak Tanggungan yaitu tanah beserta dengan segala sesuatu yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan uang diberikan sebagai jaminan (pasal 4 UUHT). Pencantuman dengan jelas objek HT dalam surat kuasa merupakan ketentuan yang logis dan patut demi kepastian hukum dan perlindungan baik kepada penerima kuasa maupun pemberi kuasa.
Blanko SKMHT dan Penggunannnya
Dalam hal kuasa membebanka HT, pihak BPN telah menyediakan blanko formulir yang bisa dibeli di Kantor Pos. Penyediaan balnko formulir berdasarkan PMNA/KBPN Nomor 3 tahun 1996 tentag Bentuk Surat kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Disebut blanko formulir karena format SKMHT yang telah ditentukan oleh BPN tersebut terdapat tempat-tempat kosong yang tinggal diisi oleh Notaris atau PPAT yang disesuaikan dengan fakta dan data yang ada dan mencoret yang tidak perlu.
3.3.3.1. Unsur-unsur yang dicantumkan
Dalam blanko SKMHT dibedakan antara tanah yang bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat. Menurut J. Satrio dalam blanko SKMHT tersedia kolom-kolom yang harus diisi antara lain :
1). Untuk tanah yang sudah bersertifikat :
- berapa banyak hak atas tanah yang dijaminkan
- jenis haknya
- nomor sertifikatnya
- terdaftar atas nama siapa
- surat ukur/ gambar situasi tertanggal berapa dan nomor berapa
- cara perolehannya
- meliputi apa saja ( maksudnya apakah meliputi benda-benda yang
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya)
1. Untuk tanah yang belum bersertifikat
- luasnya
- terletak dimana
- batas-batasnya
- alat bukti yang menjadi dasar
- meliputi apa saja ( maksudnya apakah meliputi benda-benda yang
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya)( 1998 : 185-186)
Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada kreditur agar mendapat gambaran yang jelas dan terang mengenai tanah yang dijadikan objek jaminan ;hal ini sesuai dengan azas spesialitas dari Hak Tanggungan Pasal 8 menyebutkan

3.3.3.2. Isi Kuasa Membebankan HT
Isi kuasa membebankan Ht meliputi kuasa unutk menghadap dimana perlu, memberikan keterangan - keterangan serta memperlihatkan dan menyerahkan surat – surat yang diminta , membuat / meminta dibuatkan serta menanda tangani Akta Pemberian Hak Tanggungan serta surat – surat lain yang diperlukan, memilih domosili, memberi pernyataan bahwa objek Hak Tanggungan betul milik Pemberi kuasa, tidak tersangkut dalam sengketa , bebas dari sitaan, dan dari beban – beban apapun , mendaftarkan Hak Tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat – syarat atau aturan serta janji – janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan serta janji – janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan berupa janji-janji para pihak yang telah ditentukan secara tetap yang kesemuanya berkaitan dengan pembebanan HT (PMNA/KBPN no. 3 tahun 1996 dan SMA/KBPN no. 110-1039 tanggal 18 april 1996).
Dalam SKMHT juga memuat; untuk pelaksanaan janji – janji tresebut memberika kuasa yang diperlukan kepada Pemegang Hak Tanggunan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan;
Kuasa yang diberikan dengan SKMHT tidak dapat ditarik kembali dan tidak berakhir karena sebab apapun kecuali oleh karena telah dilaksanakan pembuatan APHT sesuai tanggal yang telah ditentuykan serta pendaftarannya atau karena tanggal terrsebut telah terlampaui tanpa dilaksanakan pembuatan APHT
3.3.3.3. Janji – Janji dalam SKMHT
Janji – janji didalam SKMHT tidak diatur secara khusus dalam UUHT, akan tetapi di dalam formulir SKMHT janji – janjinya mencakup hal yang lebih luas yaitu janji – janji mengenai Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 11 UUHT). Yang dalam formulir SKMHT dinyatakan sebagai berikut :
1. Janji bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang sama besarnya sama dengan nilai masing – masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek HT yang akan disebut di bawah ini, dan yang akan dibebaskan dari HT tersebut, sehingga kemudian HT itu hanya membebani sisa objek HT untuk menjamin sisa utang yang dilunasi.
2. Janji bahwa dalam hal objek HT kemudian dipecah sehingga HT membebani beberapa Hak atas tanah, Debitor dapat melakukan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing – masing hak atas tanah tersebut, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan, sehingga kemudian HT itu hanya membebani sisa objek HT untuk untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.Nilai masing – masing hak atas tanah tersebut akan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua.
3. Janji yang membatasi kewenagan pemberi HT untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan /atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka,, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HT.
4. Janji yang membatasi kewenangan pemberi HT untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek HT, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HT.
5. Janji yang memberikan kewenangan kepada kepada pemegang HT untuk mengelola objek HT berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumya meliputi letak objek HT apabila Debitor sungguh – sungguh cidera janji.
6. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang HT untuk menyelamatkan objek HT, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek HT karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang – undang, serta kewenangan untuk mengajukan permohonan memperpanjang jangka waktu dan/atau memperbarui hak atas tanah yang menjadi objek HT.
7. Janji bahwa pemegang HT pertama mempunyai hak unutk menjual atas kkekuasaan sendiri objek HT apabila Debitor cidera janji.
8. Janji yang diberikan oleh Pemegang HT pertama bahwa objek HT tidak akan dibersihkan dari HT.
9. Janji bahwa pemberi HT tidak akan melepaskan haknya atas objek HT tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang HT.
10. Janji bahwa pemegang HT akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi HT untuk pelunasan piutangnya apabila objek HT dilepaskan haknya oleh pemberi HT atau dicabut haknya untuk kepentingak umum.
11. Janji bahwa pemegang HT akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi HT untuk pelunasan piutangnya, jika objek HT diasuransikan.
12. Janji bahwa pemberi HT akan mengosongkan objek HT pada waktu eksekusi HT.
13. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan HT diserahkan kepada dan untuk disimpan Pemegang HT.
14. Janji – janji lainnya yang tidak bertentangan dengan kepatutan dan hukum.
3.3.3. 4. Jangka Waktu SKMHT
SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT (Pasal 15 Ayat 2 UUHT) sesuai dengan tangal yang ditentukan dalam SKMHT tersebut. Ketentuan tersebut menurut J. Satrio dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Undang-Undang menetapkan bahwa kuasa membebankan merupakan kuasa mutlak.
b. Bahwa SKMHT bersifat sekali pakai/einmalig.
c. Bahwa berlakunya SKMHT adalah terbatas (198 : 188)
Berhubungan dengan berakhirnya kuasa memnbebankan Hak Tanggungan yang akan dikaitkan dengan objek HT yang ada yaitu apakah yang dijadikan objek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang sudah terdaftar (mempunyai sertifikat) atau hak atas tanah yang belum didaftar (belum bersertifikat). Hal ini sesuai dengan Pasal 115 ayat 3dan 4 UUHT yang menyatakan :
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian hak Tangungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
Surat Kuaa Membebnkan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan .
Berakhirnya SKMHT tersebut dalam keadaan tertentu dapat dikecualikan dengan tidak perlu mentaati jangka wakru berlkaunya surat kuasa (pasal 15 ayat 5 UUHT, yaitu dalam hal untuk menjamin kredit – kredit tertentu, misalnya KUT, Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) (KMNA/KBPN Nomor 4 tahun 1996 tentang Penjelasan Waktu Penggunaan SKMHT untuk Menjamin Pelunasan Kredit –Kredit Tertentu), yaitu sampai dengan berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok.
Habib Adjie mengemukakan suatu kesimpulan bahwa :
Berakhirnya pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan bersifat khusus dan limitatif. Khusus artinya akan berakhir dalam keadaan yang sudah ditentukan berakhirnya. Limitatif artinya dalam keadaan tertentu kuasa tersebut akan tetap merujuk pada berakhirnya kuasa seperti yang tercantum dalam KUHPerdata, misalnya pemberi kuasa meninggal dunia dan atas tanah yang dijadikan tanggungan belum dilaksanaka pembuatan APHT sehingga berakhirnya kuasa tersebut bersifat komplementer (melengkapi) (1999 : 15)
Maksud berakhir dalam keadaan yang telah ditentukan di atas adalah sesuai Pasal 15 ayat 3 da 4, yaitu berakhir apabila telah dilakukan pembebanan Hak tangungan (pemasangan riil). Ketentuan KUHPerdata tetap berlaku apabila terjadi hal diluar perkiraan seperti pemberi kuasa meninggal dunia. Hal ini sesuai asas hukum dsalam pelaksanannya yaitu lex spesialist derogat lex generalist ( ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum ). Ketentuan khusus yaitu UUHT, ketentuan umumnya adalah KUHPerdata.
3.4. Kredit-Kredit Yang Berhubungan Dengan SKMHT
Pembangunan Nasional yang salah satu tujuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, oleh karenanya memerlukan dana guna mendukung perkembangannya yang semakin lama semakin meningkat yang tentunya pembiayaannya juga meningkat.
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kepentingan ekonomi lemah, Pemerintah menetapkan batas waktu berlakunya SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. Hal ini dipertegas dengan adanya ketentuan yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu.
Dalam rangka menjamin pelunasan jenis-jenis kredit dibawah ini dengan Objek Hak Tanggungan berupa Hak atas Tanah yang pensertifikatannya sedang dalam proses pengurusan, SKMHT berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya Sertifikat Hak atas Tanah yang menjadi Objek Hak Tanggungan, Yaitu :
1. Kredit Produktif yang termasuk kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit Rp. 50 Juta (lima puluh juta rupiah) keatas sampai dengan Rp. 250 juta (dua ratus lima puluh juta rupiah)
2. Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR yang tidak termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah toko (ruko) oleh usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 dengan plafon tidak melebihi Rp. 250 juta, yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit tersebut.
3. Kredit untuk perumahan inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR lainnya yang dijamin dengan Hak Atas Tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut.
4. Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka kredit pemilikan rumah (KPR) yang termasuk dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan Hak atas Tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut.
SKMHT yang diberikan untuk menjamin pelunasan kredit-kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam SK Direksi BI Nomor 30/35/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1997, berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Adapun jenis-jenis kredit usaha kecil yang dimaksud adalah :
1. Kredit yang diberikan kepada nasanbah usaha kecil, yang meliputi :
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa (KUD)
b. Kredit Usaha Tani (KUT)
c. Kredit kepada Koperasi Primer kepada anggotanya
2. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan untuk pengadaan rumah, yaitu :
a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun (rusun) dengan luas tanah maksimum 200 m2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2.
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan kavling siap bangun dengan luas tanah 54 m2 dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya.
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/ pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b.
3. Kredit produktif yang diberikan oleh Bank Umum dan BPR dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50 Juta (lima puluh juta rupiah) , antara lain :
a. Kredit Umum Pedesaan
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah).
3.5. Hak Atas`Tanah Yang Dapat Dijadikan Objek SKMHT
Pentingnya penetapan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar (bersertifikat) maupun hak atas tanah yang belum terdaftar adalah guna penetapan batas waktu SKMHT untuk dipasang hak tanggungannya yaitu untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar batas waktunya 1 (satu) bulan dan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar batas waktunya 3 (tiga) bulan.

3.5.1. Tanah Yang Bersertifikat
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dalam Pasal 1 angka 20 dinyatakan sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruif c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan daklam buku tanah yang bersangkutan sertifikat ini diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada ukurannya, ataupun tanah-tanah yang sudah diselenggarakan pengukuran desa demi desa , karenanya sertifikat ini, merupakan pembuktian yang kuat baik subjek maupun objek hak atas tanah .
Hak atas tanah yang dimaksud adalah hak-hak atas tanah sebagaimana ditetapkan Pasal 16 UUPA, khususnya Hak atas Tanah primer yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh negara kepada subjek hak, sedangkan hak atas tanah sekunder adalah hak untuk menggunakan tanah dari pihak lain.
3.5.2. Tanah Yang Belum Bersertifikat
3.5.2.1. Pengertian Hak Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat
Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dsipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut :
1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksuddalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi (ayat (1)) sedang hak atas tanah adalah hak atas bagian tertentu permukaan bumi yang berbatas berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan.
Pengertian hak atas tanah belum bersertifikat yaitu tanah yang telah dikuasai atau ditempati seseorang yang belum mempunyai sertifikat sebagai surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah.
Girik Sebagai Bukti Awal Dalam Menelusuri Kepemilikan Atas Tanah
Untuk permasalahan tanah yang berhubungan dengan girik tersebut adalah wewenang dari Badan Pertanahan Nasional setempat, sedangkan fungsi girik tersebut adalah untuk pembayaran pajak atas tanah dan bangunan.
Dalam praktek di lapangan sering timbul masalah girik ganda. Sebenarnya girik tersebut tidak akan terjadi penggandaan kalau administrasi baikm secara teknis berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagaimana untuk mengetahui bahwa girik tersebut ganda atau tidak, karena kewenangan pengeluaran riwayat tanah oleh lurah atau kepala desa setempat maka untuk pelacakannya girik ganda atau tidak adalah kewenangan dari lurah setempat, perlu diketahui bahwa di kelurahan tersebut dapat diadakan pelacakan melalui peta-peta letter c dan buku daftar letter c yang menguraikan tentang riwayat tanah yang mengakui senbagai pemegang girik tersebut dan untuk pelacakan secara fisik dapat dilaksanakan penelitian di lapangan apakah tanah tersebut ganda kepemilikannya.
Masalah dasar hukum tentang girik ini tidak diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, sehingga apabila terjadi wanprestasi perkara tersebut akan dilimpahkan kepada pengadilan. Sebelum tanggal 24 September 1960, girik tersebut adalah merupakan tanah milik adat, tetapi semenjak tanggal 24 September 1960 hingga sekarang girik tersebuit bukan merupakan tanah bekas milik adat sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 UUPA mengenai ketentuan konversi tetapi merupakan sebagai bukti pembayaran pajak bagi mereka yang menikmati atas bumi dan bangunan tersebut.
Bilamana terjadi keberatan sedangkan jangka waktunya telah berlalu, maka keberatan tersebut tidak akan dipertimbangkan dan sertifikat tetap akan diproses, jika dalam jangka waktu pengumuman di koran ada yang merasa keberatan, maka kep[ada yang merasa keberatan mengajukan surat tertulis kepada kantor pertanahan dengan disertai bukti-bukti tanda yang dipermasalahkan untuk dibicarakan secara musyawarah dan mufakat kepada pihak-pihak yang terkait, langkah selanjutnya hasil dari musyawarah dan mufakat telah menghasilkan kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan, maka dibuatkanlah Berita Acara mengenai kesepakatan tersebut, kalau tidak terjadi kesepakatan tetap dibuatkan Berita Acara mengenai ketidaksepakatan tersebut, maka kantor pertanahan cukup melimpahkan permasalahan tersebut beserta Berita Acara secara hukum ke kantor Pengadilan Negeri setempat dengan tembusan kepada pihak-pihak yang terkait dalam hal ini yaitu ; Badan Pertanahan Nasional setempat , Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Lurah setempat sebagai yang menguasai kewenangan atas penerbitan riwayat tanah yang berdasarkan girik tersebut.
Dalam masalah teknis bahwa girik yang dinyatakan sebagai bekas tanah milik adat dapat dibuktikan tercatat dalam kearsipan kantor lurah setempat bukan merupakan tanda bukti hak sebagaimana sertifikat hak atas tanah merupakan alat bukti kepemilikan tanda tersebut yang dapat dipergunakan sebagai kelengkapan pendaftaran pengakuan hak.
Apabila terjadi sengketa batas tanah yang mempunyai kepemilikan girik tersebut tuidak bisa dijadikan sebagai alat bukti mengenai kepastian batas-batas letak tanah karena tidak terdapat bukti-bukti surat ukur sebagaimana yang terlampir pada sertifikat hak atas tanah dengan demikian peraturan Badan Pertanahan Nasional sangat menentukan dalam menunjang proses pendaftaran tanah khusus mengenai girik atau letter c sebagai tanah milik adat sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.
3.6. EKSEKUSI
3.6.1. Pengertian Eksekusi
Istilah Eksekusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, adalah pelaksanaan/ menjalankan putusan (1996 : 252)
Dalam literatur terdapat 2 definisi eksekusi yaitu dalam arti sempit dan luas. Eksekusi dalm arti semppit dikemukakan oleh Victor Situmorang, karena eksekusi hanya dilihat sebagai hal menjalankan putusan pengadilan, yaitu :
Eksekusi adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses Hukum Acara Perdata, juga eksekusi ii dapat diartikan menjalankan putusan pengadilan, yaitu menjalankan secar paksa putua pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tida mau menjalankann secara sukarela, eksekusi itu dapat dijalankan apabila telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (1993 : 127)
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, yaitu eksekusi adalah upaya paksa yang dilakukan terhadap pihak yang kalah yang tidak mau secara sukarela menjalankan putusan pengadilan, dan bila perlu dengan bantuan kekuatan hukum (1995:127)
Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa paksaan putusan/eksekusi adalah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yangb tercantum dalam putusan (1988 : 206).
Dari ketiga definisi diatas yang dimaksud eksekusi dalam arti sempit yaitu eksekusi yang hanya menjalankan putusan pengadilan saja tidak termasuk eksekusi yang lain, misalnya grosse surat utang notariil dan benda jaminan baik berupa benda tetap maupun benda bergeraksebagaimana terdapat pada Pasal 224 HIR jo Pasal 14 ayat (3) UUHT, Pasal 1778 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 1155 KUHPerdata dan Pasal 666 KUHPerdata.
Selanjutnya pengertian eksekusi dalam arti luas dikemukakan oleh Moch Dja’is, yaitu :
“Hukum eksekusi merupakan bagian dari Hukum Acara Perdata yang mengatur upaya paksa untuk merealisasikan hak terhadap termohon eksekusi atau Debitor yang tidak mau secara sukarela melaksanakan kewajibannya. Hak seseorang yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan , perjanjian dan atau putusan pengadilan akan sia-sia belaka bila tidak direalisasikan. Dalam hal-hal tertentu realisasi hak tersebut dilaksanakan oleh penguasa, untuk itu diperlukan permohonan eksekusi dari kreditor” (Moch. Dja’is, 2000 : 4).

Dalam pengertian diatas diketahui bahwa eksekusi timbul karena debitor tidak mau melaksanakan secara sukarela kewajibannya atau ingkar janji, maka diperlukan upaya paksa dengan peraturan undang-undang yang berlaku.
3.6.2. Jenis-Jenis Eksekusi
Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia” , menyebutkan adanya beberapa jenis pelaksanaan putusan atau eksekusi, yaitu:
a. Eksekusi membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR).
Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan .
Diatur dalam pasal 225 HIR. Orang tak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan, namun pihak yang dimenangkan oleh Hakim dapat meminta agar kepentingannya dinilai dengan uang.
c. Eksekusi Riil
Eksekusi ini merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh Putusan Hakim secara langsung (1988 : 201)
Selain 3 jenis eksekusi di atas, Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa masih terdapat/dikenal apa yang namanya parate eksekusi/eksekusi langsung. Parate eksekusi terjadi apabila dalam perjanjian gadai si pemberi gadai cidera janji sehingga kreditor dapat menjual langsung barang-barang milik debitor (Pasal 1155 KUHPerdata).
Pembagian eksekusi yang lain menurut Moch. Dja’is, yaitu :
a. Berdasarkan obyeknya, eksekusi terdiri dari :
1. Eksekusi putusan Hakim
2. Eksekusi benda jaminan
3. Eksekusi grosse surat utang notariil
4. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak atau kepentingan
5. Eksekusi surat pernyataan bersama
6. Eksekusi surat paksa
b. Berdasarkan prosedur, eksekusi terdiri dari :
1. Eksekusi tak langsung yaitu eksekusi berupa hasil upaya paksa secara tidak langsung untuk tercapainya realisasi hak. Eksekusi tidak langsung terdiri dari :
a). Membayar uang paksa/dwangsom.
b). Sandera/gijzeling
c). Tindakan paksaan lain yaitu pada umumnya berupa pemutusan/penghentian perjanjian yang prestasinya berlangsung terus menerus, misalnya PAM, PLN (listrik), Telkom (telepon).
2. Eksekusi langsung yaitu upaya paksa untuk merealisasi hak. Eksekusi langsung terdiri dari :
a). Eksekusi biasa/eksekusi membayar sejumlah uang
b). Eksekusi melakukan suatu perbuatan
c). Eksekusi dengan pertolongan Hakim
d). Eksekusi parate/langsung
e). Eksekusi penjualan di bawah tangan
f). Eksekusi Riil, dibagi 4 (empat) yaitu :
(1). Eksekusi Riil terhadap putusan pengadilan.
(2). Eksekusi Riil terhadap obyek lelang eksekusi diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.
(3). Eksekusi Riil berdasarkan undang-undang (Pasal 666 KUHPerdata, mengenai eksekusi terhadap dahan dan akar)
(4). Eksekusi Rill berdasarkan perjanjian (perjanjian dengan kuasa dan perjanjian penegasan) terhadap piutang sebagai jaminan dan benda milknya sendiri (Moch. Dja’is, 2000 : 9-10)
Apabila dilihat dari pembagian eksekusi dari kedua pendapat tersebut, terdapat perbedaan yaitu eksekusi membayar sejumlah uang, eksekusi melakukan perbuatan dan eksekusi riil yang disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo, dapat dikategorikan sebagai eksekusi putusan hakim sedangkan eksekusi putusan hakim termasuk pembagian eksekusi berdasarkan obyeknya sebagaimana dikemukakan oleh Moch. Dja’is.
Pembagian eksekusi yang sama dikemukakan oleh Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, ada 2 bentuk , yaitu :
a. Eksekusi adalah yang hanya mungkin terjadi berdasarkan putusan pengadilan untuk tindakan nyata atau riil yang :
1). Telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
2). Bersifat dijalankan terlebih dahulu
3). Berbentuk provisi, dan
4). Berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan.
b. Eksekusi pembayaran sejumlah uang yang tidak hanya didasarkan atas bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, berupa :
1) Grosse akta Hipotik
2) Grosse akta verband (1993 : 129)
Melihat eksekusi tersebut diatas bahwa grosse akta hipotik dan pengakuan hutang merupakan bentuk eksekusinya pembeyaran sejumlah uang. Eksekusi tehadap pembayaran sejumlah uang yang bentuknya berupa grosse akta hipotik dan pengakuan hutang tersebut merupakan eksekusi pengecualian yang diatur dalam Pasal 224 HIR junto Paal 14 ayat (3) UUHT dan Pasal 258 RBg, yautueksekusi yang dijalankan pengadilan bukan berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi yang merupakan isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dimana telah ada irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan .
3.6.3. Eksekusi pada Jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan mempunyai kedudukan yang diutamakan apabila debitur melakukan wanprestasi, dengan demikian piutang-piutang kreditur terlindungi.
Pasal 20 Undang - Undang Hak Tanggungan mengatur jenis-jenis eksekusi yang dapat dilaksanakan terhadap Hak Tanggungan yaitu :
1. Dengan title Eksekutorial
2. Parate Eksekusi
3. Penjualan dibawah tangan
Pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan objek jaminan tersebut (Pasal 6 UUHT) pelaksanaan eksekusi sebagaimana tersebut diatas disebut juga dengan parate eksekusi (Pasal 1178 KUHPerdata) atau dapat juga dengan Pasal 229 HIR/258 RBG.
Parate Eksekusi merupakan eksekusi langsung tanpa adanya suatu title eksekutorial, grose akta notaris ataupun keputusan hakim, yang dilakukan oleh kreditur pemegang gadai dan hipotik (sekarang Hak Tanggungan) pertama dengan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri.
Hak untuk menjual objek jaminan Hak Tanggungan ini merupakan perwujudan dari kedudukan yang diutamakan dari pemegang Hak Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.
Pelaksanaan eksekusi dapat juga dilakukan oleh pemegang sertifikat Hak Tanggungan dengan title eksekutorial yang termuat dalam sertifikat Hak Tangungan sebagaimana yang termuat dalam penjelasan Pasal 14 (2) UUHT.
Penjualan objek jaminan harus dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan dan harus dilakukan melalui pelelangan umum, pelelangan ini bermaksud agar supaya penjualan objek jaminan Hak Tanggungan itu dapat dilakukan secara jujur, ketentuan mengenai adanya suatu keharusan penjualan dimuka umum diatur dalam Pasal 20 UUHT.
Apabila pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu untuk meminta suatu persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu untuk meminta penetapan ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tetapi cukup hanya mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang setempat untuk melaksanakan pelelangan.
Sedangkan apabila permohonan eksekusi dilakukan melalui pengadilan negeri, maka ketua pengadilan negeri setelah menerima permohonan akan memanggil debitur yang cedera janji dan debitur yang cedera janji tersebut akan ditegur untuk dalam jangka waktu 8 (delapan) hari untuk melunasi kewajibannya dan apabila debitur tetap lalai maka objek Hak Tanggungan akan dilelang dengan didahului dengan pengumuman dalam surat kabar yang terbit di kota tempat barang tersebut berada sebanyak 3 kali berturut-turut dengan tenggang waktu selama 15 hari antara pengumuman pertama dan pengumuman kedua.
Selain eksekusi dengan jalan pelelangan dimuka umum sebagaimana tersebut diatas maka pemenuhan piutang debitur dapat pula dilakukan dengan jalan dibawah tangan dengan ketentuan bahwa penjualan yang dilakukan dibawah tangan tersebut haruslah terlebih dahulu disepakati oleh para pihak.
Maksud penjualan dibawah tangan ini adalah agar dalam penjualan objek Hak Tanggungan dapat diperoleh harga yang tinggi yang menguntungkan kedua pihak.
Penyelesaian dibawah tangan ini dapat menggunakan jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) apabila para pihak dalam perjanjiannya telah menentukan sebelumnya dalam perjanjian mereka, bahwa apabila di kemudian hari terjadi sengketa maka para pihak memilih jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dalam penyelesaian sengketa yang terjadi.
Sedangkan pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah :
disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Sifat dari putusan APS ini merupakan kesepakatan diantara pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian untuk menyerahkan kepada APS bila terjadi perselisihan atau sengketa diantara mereka perjanjian penyelesaian sengketa melalui APS harus dilakukan secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak jika kedua belah pihak tidak mampu menanda tangani maka persetujuan harus dibuat dihadapan seorang notaris.
Keadaan yang dipaparkan di atas menimbulkan suatu ketidakpastian hukum, jika debitor wan prestasi (cidera janji), pihak bank sebagai kreditor pemilik dana tidak mempunyai kekuasaan sebagai krditor preferen tetapi dipersamakan dengan kreditor lainnya, sehingga bank tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi), karena SKMHT tidak memberikan kekuasaan untuk itu.
Walaupun nilainya kecil, tetapi dengan jumlah nasabah yang banyak, potensi kredit macet juga akan menjadi cukup besar dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal bank sendiri juga harus memperlakukan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UU Perbankan.
Jika terjadi kredit macet, sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991 Tentang Penggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan Atas Aktifa Yang Diklasifikasikan, upaya-upaya penyelamatan kredit yang dapat dilakukan oleh bank adalah, penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring).
Dengan memperhatikan paparan di atas, menurut Peneliti sekalipun kelonggaran dalam hal jaminan dapat diberikan pada kredit tertentu untuk menunjang pembangunan, prinsip kehati-hatian bank tetap harus dipertahankan untuk dapat membentuk bank yang sehat, dan jika terjadi kredit macet pada sektor kredit ini, dikarenakan tidak berlakunya parate eksekusi dan dengan memperhatikan upaya yang dapat dilakukan oleh bank terhadap kredit macet ini, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat Pembaharuan utang (novasi) jika ternyata debitur melakukan wan prestasi terhadap perjanjian utang piutang yang telah dibuat.

3.6.4. Eksekusi Tehadap Pelaksanaan SKMHT
Eksekusi terhadap pelaksanan SKMHT tidak diatur secara khusus dalam UUHT, akan tetapi mencakup hal yang lebih luas yaitu eksekusi hak tanggungan (Pasal 20 ayat 1 UUHT).
Eksekusi dalam pelaksanaan SKMHT lebih erat kaitannya dengan tindakan para pihak ( pemberi kuasa dan penerima kuasa / pihak ketiga ). Tindaka tersebut berkenaan dengan kewajiban dari para pihak yang terikat dengan ja ji-janji yang tlah ditentukan secara terbatas – tegas dalam blanko SKMHT, karena janji-janji tersebut telah ditetapkan isinya oleh BPN\. Dengan kata lain kewajiban para pihak dalam SKMHT bersifat memaksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TULIS KOMENTAR ANDA